Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dani Ramdani
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Naturalisasi Pemain: PSSI yang Jor-Joran dan Ironi di Baliknya

Kompas.com, 17 Januari 2024, 11:33 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Nama lainnya, Ivar dan Rafael terus melanjutkan proses naturalisasi. Kedua pemain ini bermain dalam babak Kualifikasi Piala Asia U-23 dan berhasil membawa Indonesia pertama kali lolos ke putaran final.

Proses naturalisasi pemain terus berjalan. Selain nama-nama tadi, masih ada juga nama Jay Idzes dan Thom Haye. Keduanya baru disumpah menjadi WNI pada bulan Desember 2023 lalu.

Sayangnya, keduanya tidak termasuk dalam daftar pemain yang dibawa STY di Piala Asia 2023 karena pada waktu itu masa pendaftaran pemain sudah ditutup. Meski begitu, keduanya memiliki kesempatan besar untuk membela Timnas Indonesia di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2026 mendatang.

Terbaru, Erick Thohir mengkonfirmasi bahwa Maarten Paes akan menjalani proses naturalisasi. Sebagai seorang penjaga gawang, Paes diharapkan dapat berpartisipasi dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026.

Ironi di Balik Langkah Naturalisasi Pemain

Meskipun proses naturalisasi dilakukan sesuai dengan standar PSSI, yaitu memiliki garis keturunan dan bermain di luar Indonesia, langkah jor-joran PSSI dalam naturalisasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kalangan berpendapat bahwa naturalisasi dapat membatasi peluang pemain lokal untuk memperkuat Timnas.

Padahal semestinya kritik tersebut tidak ditujukan kepada para pemain, melainkan kepada PSSI yang secara tidak langsung gagal membangun pemain berkualitas dari binaan dalam negeri.

Dengan melakukan naturalisasi pemain itu artinya PSSI lebih memilih jalan pintas alih-alih memperbaiki sistem pembinaan usia muda hingga kompetisi liga yang lebih kompetitif.

Padahal PSSI bisa saja menciptakan pemain dengan level yang sama seperti para pemain naturalisasi tadi asal sistem sepak bola di Indonesia dibenahi, seperti salah satunya kompetisi usia muda yang sekarang hanya ada Elite Pro Academy.

Semestinya Indonesia memiliki kompetisi di setiap jenjang usia, misalnya U-16, U-19, dan U-21. Dengan begitu para pemain muda bisa mendapat pengalaman serta menit bermain. Bukan hanya dengan mengeluarkan aturan klub di Liga 1 harus memainkan pemain muda selama 45 menit. Tentu itu keliru.

Dengan memberi ruang para pemain muda bermain reguler di kompetisi sesuai jenjang umurnya, tentu akan mematangkan permainan mereka.

Jadi, ketika suatu saat Indonesia ingin berpartisipasi dalam event internasional kelompok umur, seperti AFF, SEA Games, atau Asian Games, para pemain yang akan tampil tidak akan bersinggungan dengan jadwal di klub Liga 1.

Dengan begitu tentu konflik antara Thomas Doll dan STY beberapa waktu lalu tidak akan terjadi. Di samping itu, Indonesia juga perlu memiliki kompetisi lain selain Liga 1 sebagai kompetisi tertinggi. Mungkin bisa saja coba untuk menghidupkan kembali Piala Indonesia.

Sebenarnya kita bisa belajar dari Jepang. Saat ini Jepang berhasil menjadi raja sepak bola Asia karena sistem pembinaan sepak bola yang tertata dengan baik, dari tingkat paling bawah.

Padahal dahulu Jepang lah yang justru belajar dari Indonesia, tetapi yang tertinggal adalah kita sendiri. Tentu hal ini sunguh ironis.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ironi di Balik Jor-joran Naturalisasi Pemain Timnas Indonesia"

 
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Kata Netizen
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Kata Netizen
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Kata Netizen
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Kata Netizen
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Kata Netizen
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Kata Netizen
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Kata Netizen
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Kata Netizen
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Kata Netizen
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Kata Netizen
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Kata Netizen
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Kata Netizen
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Kata Netizen
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Kata Netizen
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau