Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahéng
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mahéng adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Apa Guna Internet 100 Mbps tapi Tak Menjangkau Wilayah 3T?

Kompas.com - 22/02/2024, 18:00 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Di tengah hiruk pikuk dan gonjang-ganjing era digital, ironisnya, masih ada 57 juta jiwa di Indonesia yang tidak kebagian akses internet. Survei APJII 2024 mengungkap kenyataan pahit ini.

Di saat kita sibuk dengan streaming video, bermain PUBG, Fortnite Battle Royale, Mobile Legends, seru-seruan di Free Fire, hingga sesekali berkelakar bahkan menghujat orang di media sosial, jutaan saudara kita masih terkungkung dalam keterbatasan informasi.

Setidaknya ada 12.548 desa dan kelurahan belum mendapatkan layanan internet alias blank spot, menurut keterangan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate.

Bahkan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional mencatat ada setidaknya 25.000 desa yang masih menjadi blank spot tanpa sinyal telekomunikasi. Akses internet bagaikan mimpi bagi mereka.

Alih-alih mewujudkan kecepatan internet tetap (fixed broadband) paling lambat 100 Mbps yang berbiaya tinggi, bukankah lebih bijak menjembatani kesenjangan digital yang menganga ini?

Wacana mewajibkan peningkatan kecepatan internet memang menarik, tapi perlu dikaji lebih dalam. Di tengah kesenjangan digital yang mendelongop, fokus utama saat ini seharusnya membangun akses internet yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bukan berarti peningkatan kecepatan internet tidak penting. Namun, jika infrastruktur internet saja belum merata, memaksakan kecepatan tinggi hanya akan memperparah kesenjangan.

Membangun infrastruktur internet di desa-desa terpencil adalah langkah krusial untuk membuka gerbang informasi dan peluang bagi mereka. Kecepatan 20 Mbps yang menjangkau semua wilayah jauh lebih bermanfaat daripada 100 Mbps yang berbiaya tinggi dan hanya dinikmati segelintir orang.

Pemberdayaan dan literasi digital juga penting untuk memastikan internet digunakan secara optimal. Tapi tanpa akses internet, upaya ini bagaikan menabur benih di tanah tandus.

Pada Oktober 2023 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Pulau Runduma, sebuah pulau terluar di Kabupaten Wakatobi.

Pengalaman ini membuka mata saya terhadap realitas pendidikan di pelosok negeri, di mana akses internet dan listrik masih menjadi mimpi.

Guru-guru di Pulau Runduma berjuang tanpa akses informasi dan teknologi yang memadai. Di saat guru-guru di kota dengan mudahnya mencari referensi di internet, guru-guru di Runduma harus berkreasi dengan keterbatasan.

Ironisnya, tekanan dan beban yang mereka alami sama. Kurikulum Merdeka, dengan fokus pada pembelajaran mandiri dan eksplorasi, menjadi tantangan berat di tengah keterbatasan infrastruktur.

Kisah Pulau Runduma bukan hanya tentang pendidikan yang tertinggal, tetapi juga potensi ekonomi yang tersembunyi.

Adalah Dea Saraswati, salah satu tim ekonomi kreatif Village Development Expediton yang diinisiasi oleh Barakati Indonesia ini, melihat potensi wisata yang luar biasa di pulau ini.

Rawa-rawa indah di Runduma dapat menjadi daya tarik wisatawan, membuka peluang bagi UMKM lokal untuk berkembang.

Namun, tanpa infrastruktur yang memadai, potensi ini akan sia-sia. Tanpa akses internet dan akses listrik yang buruk, menghambat pemasaran produk lokal dan pengembangan usaha.

"Misal Abon Runduma bisa dikembangin jadi oleh-oleh khas disana. Tapi siapa yang mau beli kalau nggak ada wisatawan yang berkunjung? Terus gimana caranya buat masarin (secara online) kalau ruang lingkupnya aja begitu, tidak ada sinyal," tukas Dea.

Runduma bukan satu-satunya, pada Desember 2023 lalu, saya melanjutkan petualangan ke Desa Sukajeruk di Pulau Masalembu, salah satu dari 126 pulau di Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur.

Meskipun dari sisi aksesibilitas internet lebih baik dari Runduma, akses internet di Desa Sukajeruk masih jauh dari ideal. Jaringan internet hanya tersedia melalui voucher WiFi dengan harga yang mahal.

Tarif voucher berkisar antara 15 ribu hingga 35 ribu dengan kuota yang terbatas mulai dari 500 MB hingga 1 GB. Harga ini tergolong cukup mahal, terutama jika seorang guru perlu menonton referensi di YouTube. Hanya dengan satu video, kuota dapat habis secara keseluruhan.

Kembali lagi, wacana pemerintah untuk mewajibkan kecepatan internet tetap (fixed broadband) minimal 100 Mbps memang menarik. Namun, perlukah ini menjadi prioritas utama?

Bagi pengguna internet dengan kecepatan 15 Mbps seperti saya saja, tagihan bulanan bisa membengkak. Mewajibkan 100 Mbps di seluruh wilayah, tanpa memperhatikan pemerataan akses terlebih dahulu, dapat memperparah kesenjangan digital.

Anggaran untuk 100 Mbps lebih bijak dialokasikan untuk pemerataan akses internet. Sisa anggaran dapat digunakan untuk pemberdayaan dan literasi digital serta keamanan digital yang membutuhkan dana signifikan.

Ilustrasinya seperti ini: Pemerataan akses internet adalah "jalan tol" atau "road race" yang harus dibangun terlebih dahulu. Kalakian dilatih pembalapnya dengan "literasi digital". Setelah itu, barulah kita berbicara tentang "balapan" kecepatan internet.

Saat ini, jalanan masih berlubang, sering macet, dan pengemudinya sering terjebak hoaks di grup keluarga. Kalau disuruh balapan apa enggak contang-pelontang hingga nanar?

Pendidikan tertinggal dan potensi ekonomi tersembunyi di desa terpencil adalah dampak yang diakibatkan oleh kesenjangan digital.

Maka itu, mari kita kolaborasi membangun era digital yang inklusif dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia! [mhg]

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Membangun Jalan Tol Digital: Prioritaskan Pemerataan Akses Internet, Bukan Kecepatan"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau