Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akbar Pitopang
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Akbar Pitopang adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Hubungan Akreditasi, Kualitas, dan Mutu Pendidikan

Kompas.com - 31/08/2024, 09:35 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ketiadaan perpustakaan, mushola, laboratorium, dan kekurangan ruang kelas menjadi hal yang nyata di sekolah kami. Dengan 12 rombongan belajar (rombel), kami seharusnya memiliki fasilitas ruang kelas yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar. 

Herannya, justru di tengah keterbatasan ini, sekolah kami masih bisa mendapatkan nilai akreditasi A. 

Apakah ini berarti bahwa ketersediaan fasilitas tak lagi menjadi penentu utama dalam proses akreditasi? Ataukah ada faktor lain yang lebih dominan yang membuat kekurangan fasilitas ini seolah "tertutupi"?

Kenyataan ini mengusik saya untuk bertanya lebih dalam tentang validitas penilaian akreditasi. Di satu sisi, kita memahami bahwa pendidikan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga kualitas pengajaran, kurikulum, dan hasil belajar siswa. 

Namun, bagaimana mungkin sebuah sekolah tanpa perpustakaan, mushola, atau laboratorium bisa mendapatkan nilai akreditasi tertinggi? Bukankah fasilitas-fasilitas tersebut adalah elemen dasar yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, komprehensif demi terwujudnya proses belajar secara efektif?

Di sinilah keraguan itu muncul. Ketika fasilitas yang menjadi kebutuhan dasar tidak tersedia, apakah kita masih bisa mengklaim bahwa sekolah tersebut layak mendapatkan akreditasi A? 

Saya lebih setuju bila nilai akreditasi seharusnya mencerminkan kondisi nyata di sekolah. Kekurangan fasilitas yang krusial seperti ini seharusnya menjadi catatan penting yang mempengaruhi nilai akreditasi yang akan diterima.

Pertanyaan ini tidak hanya soal angka, tapi tentang bagaimana kita memahami dan menilai kualitas pendidikan secara holistik. Jika fasilitas-fasilitas penting tak tersedia, layakkah sekolah berpuas diri dengan nilai akreditasi A tersebut? 

Atau justru ini menjadi momentum untuk bercermin, untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar memenuhi standar yang layak dalam praktik nyata.

Refleksi untuk Sekolah Terakreditasi A, Apakah Sudah "Sempurna"?

Mendapatkan nilai akreditasi A adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Namun, apakah ini berarti sekolah-sekolah tersebut sudah sempurna dalam segala hal, khususnya dari segi fasilitas? 

Dalam keyakinan bersama, nilai A seringkali dianggap sebagai simbol kesempurnaan, padahal di balik angka tersebut bisa saja terdapat kekurangan yang tampak jelas terlihat maupun secara tak kasat mata. 

Jika kita melihat lebih dalam, ternyata tidak semua sekolah dengan akreditasi A memiliki fasilitas yang memadai. 

Lalu, nilai yang tinggi ini justru bisa menjadi bumerang ketika sekolah tersebut mengajukan bantuan sarana prasarana.

Ada anggapan bahwa sekolah dengan akreditasi A dianggap sudah "cukup baik", sehingga tidak lagi menjadi prioritas untuk menerima bantuan. Padahal, tidak semua sekolah terakreditasi A memiliki infrastruktur yang ideal. 

Di satu sisi, nilai A adalah pengakuan atas kualitas pendidikan yang baik. Padahal di sisi lain, ini bisa menutup pintu bagi sekolah-sekolah yang sebenarnya masih sangat membutuhkan dukungan, terutama dalam hal fasilitas.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca

Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca

Kata Netizen
Ujian Pernikahan Itu Ada dan Nyata

Ujian Pernikahan Itu Ada dan Nyata

Kata Netizen
Kembalinya Penjurusan di SMA, Inikah yang Dicari?

Kembalinya Penjurusan di SMA, Inikah yang Dicari?

Kata Netizen
Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film 'Jumbo'

Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film "Jumbo"

Kata Netizen
Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Kata Netizen
Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau