Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Cerita yang pernah saya dengar tentang sekolah yang tidak lolos pengajuan bantuan sarpras karena sudah terakreditasi A. Pemerintah dan pihak terkait perlu mempertimbangkan aspek lain, seperti kondisi nyata di lapangan, sebelum menetapkan prioritas dalam pemberian bantuan.
Nilai A memang membanggakan, tetapi jika itu menghalangi sekolah mendapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan, mungkin sudah saatnya sekolah memikirkan ulang arti dari nilai akreditasi itu sendiri.
Maka, sekolah yang memperoleh nilai akreditasi A perlu menyadari bahwa nilai tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini bisa menjadi tantangan, khususnya dalam mengakses bantuan yang diperlukan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan.
Sekolah harus lebih bijak dalam memaknai akreditasi, bukan hanya sebagai pencapaian, tetapi juga sebagai refleksi dari apa yang masih perlu diperbaiki.
Ketersediaan fasilitas sekolah atau sarana prasarana (sarpras) adalah elemen yang tak bisa dianggap remeh dalam menunjang kualitas proses dan hasil pembelajaran. Bayangkan sebuah sekolah tanpa perpustakaan, laboratorium, atau ruang kelas yang memadai.
Bagaimana kita bisa berharap siswa mencapai potensi terbaiknya jika mereka tidak memiliki akses ke fasilitas yang mendukung pembelajaran?
Misalnya, keberadaan perpustakaan di sekolah bukan hanya sekedar tempat penyimpanan buku, tetapi juga menjadi wadah peningkatan kemampuan literasi siswa, membuka wawasan yang lebih luas.
Kondisi ruang kelas yang memadai juga memainkan peran krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan jumlah kelas yang cukup, proses pembelajaran bisa berjalan lebih efektif tanpa harus mengorbankan alokasi waktu karena keterbatasan ruang.
Ketika fasilitas-fasilitas utama seperti ini tidak tersedia, dampaknya bisa dirasakan langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa mungkin jadi kurang fokus, guru pun menghadapi tantangan dalam menerapkan metode pembelajaran yang ideal.
Ini semua adalah gambaran nyata bahwa fasilitas dasar adalah fondasi dari kualitas pendidikan yang harus diperhatikan dengan serius.
Maka dari itu, penilaian akreditasi seharusnya lebih peka terhadap kondisi nyata ketersediaan fasilitas utama di sekolah. Tidak pantas rasanya jika sebuah sekolah mendapatkan nilai akreditasi tinggi sementara fasilitas yang tersedia jauh dari standar yang ideal.
Akreditasi mestinya mencerminkan tidak hanya kualitas pengajaran, tetapi juga dukungan infrastruktur yang tersedia untuk mendukung proses tersebut.
Dengan mempertimbangkan kondisi nyata dari sarpras, penilaian akreditasi bisa menjadi lebih relevan dan adil. Ini tidak hanya memberikan pengakuan terhadap usaha yang sudah dilakukan sekolah, tetapi juga mendorong peningkatan fasilitas yang memang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Fasilitas yang memadai adalah prasyarat bagi terciptanya lingkungan belajar dan pembelajaran menyenangkan. Ketika fasilitas dasar cukup tersedia, guru dan siswa dapat fokus pada proses pembelajaran tanpa harus terganggu oleh keterbatasan fisik.
Oleh sebab itu, penting bagi pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan kondisi nyata fasilitas sekolah dalam memutuskan hasil penilaian akreditasi. Jangan sampai sekolah yang memiliki kekurangan fasilitas tetapi tetap berusaha keras untuk memberikan pendidikan terbaik.