Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
"Apakah mencantumkan kata AI? Apakah boleh? Atau apakah tujuan AI memang digunakan (sebagai topeng) seakan-akan hasil dari karya (tulisan) sendiri? Sehingga bisa menjadi kalimat yang tersusun rapih".
Menggunakan AI dalam dunia pendidikan seperti ini masih tabu (pada saat itu), karena yang umumnya diketahui adalah bahwa tugas akhir harus real karya sendiri yang diperkuat oleh sumber otentik seperti dari buku dan jurnal.
Bahkan jumlah buku dan jurnal yang digunakan untuk tugas akhir biasanya terdapat jumlah khusus yang sudah ditetapkan dan harus dipatuhi, seperti misal wajib menggunakan minimal 15 buku dengan tahun terbit di atas 2013 dan minimal 10 jurnal dengan tahun terbit di atas 2012.
Jika, sebuah karya diterbitkan dari hasil menggunakan AI, lalu apa yang disebut dengan keaslian karya?
Buku di Antara Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan
Sama seperti contoh di atas. Menjadi kekhawatiran tersendiri ketika AI dimanfaatkan dalam dunia penulisan hingga penerbitan buku.
Mewarta dari AIDA, hal ini akan menimbulkan dan memperburuk masalah, dari mulai hak cipta hingga pengawasan privasi. Kekhawatiran ini bisa terlihat, diperkuat dan diperjelas ketika kita kesulitan untuk membedakan mana hasil karya manusia dan mana hasil dari AI.
Yuval Noah Harari dalam buku terbarunya, yakni Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI mengungkap sekaligus memberikan sebuah argumen, bahwa AI menjadi wakil dari "kekuatan baru" yang tergolong amat radikal pada kemajuan peradaban umat manusia.
Argumen tersebut juga pernah diutarakan olehnya pada sebuah artikel, mengenai kekuatan AI yang dimanfaatkan untuk memanipulasi budaya, bahasa, dan masyarakat. Di mana dalam artikel ini, Harari seakan memberi peringatan bahwasannya AI sudah "meretas sistem operasi peradaban manusia".
Buku, memiliki pengalaman yang amat mendalam dari si penulisnya. Bukan hanya sekadar menjadi media dan warisan informasi yang akurat, melainkan juga sebagai wadah untuk menebarkan emosi, budaya, hingga filosofi kehidupan yang lebih mendalam.
Kehadiran AI seakan menjadi ancaman untuk keberagaman kreativitas dan intelektual seperti pada bidang sastra ataupun akademis.
AI, bisa saja menghasilkan karya yang tergolong memenuhi sebuah standar seperti aksesibilitas.
Namun tetap saja memiliki kekurangan hingga tidak mampu menyaingi emosional dan kualitas, sehingga memadamkan peran buku sebagai refleksi dan cermin dari pemikiran dan pengalaman autentik manusia.
Selaras seperti yang dikatakan oleh Harari dalam buku Nexus, walaupun AI diciptakan oleh manusia, namun tetap saja tidak akan bisa mempunyai jiwa.
"Jiwa" dalam hal ini berarti sebuah dorongan "unik" manusia untuk terus berkreasi. Jadi, mau sehebat apapun AI, tidak akan bisa untuk menyamai dan menyaingi manusia. Terlebih, AI juga tidak mampu untuk mendorong emosi, kreativitas, hingga penalaran yang moral dan etis.