Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Terbayang antara sengitnya persaingan di era disrupsi dan maraknya pembajakan, menjadi fenomena yang cukup memprihatinkan di dunia buku dan perbukuan.
Jangankan toko buku bekas, toko buku paling legendaris dan menjadi yang terbesar di tanah nusantara, yakni Gunung Agung telah memutuskan untuk gulung tikar.
Toko buku bekas, terbilang cukup mendominasi di tanah air, meski terpaut kata 'bekas' kenyataannya tidak hanya menjual buku bekas dan lawas saja, melainkan masih hadir buku-buku baru.
Kekhasan dari toko buku bekas sendiri, dominan menjual buku-buku yang terjamin keorisinilannya. Selain itu, terbilang cukup mendominasi karena menjadi alternatif masyarakat khususnya pencinta buku hingga mahasiswa dalam mencari buku-buku dengan harga murah, hingga buku-buku yang sudah tidak naik terbit lagi.
Dulu, toko buku bekas menjadi tempat favorit untuk berjelajah sejarah. Asyiknya bukan main ketika bisa berkunjung ke toko buku bekas, tempatnya yang antik ditambah wanginya yang khas membuat semakin betah untuk berlama-lama, entah hanya sekadar membaca saja hingga belanja beberapa buku.
Kini, bukan terbilang sulit untuk menemukan dan berkunjungnya, melainkan masyarakat lebih terarik untuk membeli buku-buku bekas dan lawas secara online.
Diakui dan berpengaruh, perkembangan teknologi terlebih hadirnya platform belanja online atau biasa kita sapa martkeplace telah berhasil mengubah gaya belanja masyarakat secara dratis.
Perubahan yang besar ini, bahkan bukan hanya dirasakan oleh toko buku saja, melainkan bidang lainnya seperti salah satunya dunia fashion, yang tadinya hadir hampir disetiap sudut mall dan pasar kini juga ikut bertumbangan.
Jika, dibandingkan dengan penjualan buku secara (online) marketplace, memang ada beberapa hal yang membuat pembeli jadi beralih, satu diantaranya yakni di mana buku amat rentan dengan turun-naiknya harga pasaran.
Jika dilihat dari kacamata pola konsumsi dan marketing, membeli buku secara langsung (ke toko buku) menjadi momen yang sudah tidak menarik lagi karena harga yang ditawarkan kalah dengan (online) marketplace, belum lagi ada banyak promo yang ditawarkan, seperti penggunaan diskon, gratis ongkir, beragam voucher, dan semacamnya.
Beberapa Faktor Penyebab Toko Buku Bekas Terlibas
1. Lambat beradaptasi dan berinovasi
Zaman terus berubah dan berkembang secara cepat. Namun, masih banyak lapak-lapak buku yang sampai saat ini hanya bergantung pada model bisnis secara tradisional, sehingga belum cukup mampu untuk bisa bersaing dengan peradaban teknologi.
Hal ini, menjadi salah satu penyebab mereka kesulitan untuk menarik kembali minat masyarakat khususnya generasi muda yang kini jauh lebih condong memanfaatkan aplikasi/platform belanja online untuk berjelajah dan membeli berbagai kategori buku.
2. Transformasi perilaku pelanggan/konsumen
Transformasi perilaku pelanggan menjadi salah satu faktor vital yang sangat mempengaruhi perkembangan lapak buku.
Kini, dominan pembaca dapat dikatakan telah bergeser ke aplikasi/platform belanja online dan e-book, selain fasilitas yang diberikan sangat memanjakan, ada beragam hal menarik yang mampu memikat, dari mulai faktor harga yang aman dikantong, juga sangat fleksibel.
Hal inilah yang menjadi tantangan besar untuk toko buku secara fisik baik untuk menarik kembali minat para pembaca, hingga mempertahankan market share.
3. Minim Promosi
Minimnya pemasaran dan promosi yang efektif sangat berpengaruh terhadap kelangsungan lapak buku.
Penjual yang masih bergantung pada model bisnis secara tradisional biasanya mengutamakan pemajangan buku-buku di rak dan menunggu pembeli berdatangan.
Namun begitu kini sampai di zaman yang serba digital, perilaku pelanggan pun beralih, sudah jarang yang masih berminat untuk datang ke toko fisik kecuali yang benar-benar memiliki waktu luang dan terbiasa, karena sebagian besar sudah memilih yang serba praktis, yakni membeli melalui aplikasi (online) marketplace.
Beradaptasi Menjadi Kunci Bertahan
Secara fisik, toko buku bekas boleh saja sudah jarang terlihat dan tidak seramai dahulu. Meski demikian, sebagian tidak menutup diri begitu saja, melainkan tetap bertahan dan perlahan memperluas toko ke (online) marketplace.
Satu-satunya kunci untuk bertahan memang ikut beradaptasi dan berimigrasi ke (online) marketplace, karena bukan hanya memberikan penghasilan yang lebih besar lagi, melainkan menambah cakupan pasar dan pembeli.
Hal ini seperti yang dirasakan oleh Eko dan Hendrik penjual buku bekas (dari toko fisik) yang mengungkapkannya melalui Alinea, bahwa jika penjual enggan berimigrasi ke (online) marketplace, maka toko buku bekas pun akan ikut tergerus zaman.
Benar saja, ketika mereka perlahan berimigrasi ke (online) marketplace, omzet pun naik ketimbang di toko fisik, "Kalau di toko fisik saya dapat sekitar 1 sampai 1,5 juta di weekend, sedangkan di Shopee dan Tokopedia bisa mencapai 5 juta bahkan lebih kalau sedang rame..." ungkapnya melalui Alinea.
Dengan ikut memanfaatkan (online) marketplace, jangkauan pembeli buku bisa tambah meluas. Misal, jika toko fisik berada di Jakarta, maka pembelinya pun dominan dari sekitaran Jakarta/Jabodetabek saja.
Namun jika sudah mulai memasarkan buku melalui (online) marketplace maka pembeli dari luar daerah pun turut membelinya, seperti dari Kalimantan, Jawa Tengah, Sumatera, hingga dari luar negeri.
Marketplace Menciptakan Lapangan Usaha
Tidak dapat dipungkiri, marketplace nyata memiliki peran besar dalam menciptakan lapangan usaha, selain praktis, sangat mudah diakses baik sebagai penjual ataupun pembeli.
Toko buku bekas boleh saja terlibas era disrupsi khususnya dari (online) marketplace, tetapi sisi positif dari lokapasar ini juga berperan besar dalam menyebarkan buku lawas terlebih yang sudah sulit dicari alias langka, dan membuka peluang usaha untuk non pengalaman.
Marketplace dalam dunia perbukuan bukan hanya dimanfaatkan oleh toko buku fisik yang berimigrasi ke online saja, melainkan ikut menciptakan lapangan usaha untuk teman-teman yang notabenenya tidak memiliki toko fisik namun memiliki banyak koleksi buku untuk di jual kembali ketimbang dibuang.
Ada 2 golongan penjual buku bekas di (online) marketplace, berikut di antaranya:
1. Online Seller
Online Seller atau penjual buku khusus online, alias para penjual buku yang hanya memiliki lapak secara online saja, namun tidak memiliki toko secara fisik dan tidak bisa dikunjungi secara langsung.
Biasanya, golongan penjual ini berasal dari kolektor buku, pemilik buku banyak namun enggan dibuang, hingga orang-orang yang tersambung dengan pemasok dan memang berniat untuk membuka usaha secara online.
Penjual buku dalam golongan ini biasanya memang hanya memiliki gudang penyimpanan dan ketika ada teman-teman pembeli yang ingin berkunjung secara langsung akan dijawab "hanya bisa dibeli secara online saja".
Ketika ngobrol dengan beberapa kerabat dekat yang menjadi penjual golongan ini, sangat diakui kehebatannya dalam membaca pasar dan pola konsumsi masyarakat, sehingga begitu lihai saat menjalani usaha buku di (online) marketplace.
Dari mulai membuka beberapa lapak sekaligus, memberikan penawaran harga yang berani (alias ngga takut ngasih harga murah, selagi dibeli dalam jumlah banyak), membuka semua jenis ekspedisi, hingga memberikan beragam promo.
Penjual dalam golongan ini, sangat diuntungkan dengan kehadiran (online) marketplace, selain membuka usaha baru, juga menjadikan buku-buku yang tadinya hanya diam di rak bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Terlebih, pengguaan aplikasi marketplace sangat mudah dan menjalankannya sangat praktis.
Golongan ini termasuk ikut menjadi pesaing toko buku fisik yang mungkin belum bergabung ke toko online atau baru berimigrasi.
2. Seller offline & online
Seperti yang sudah dibahas di atas, golongan penjual ini adalah yang berimigrasi dari toko fisik ke online, namun tetap mempertahankan toko fisiknya.
Kelebihan dari golongan ini, toko bisa dikunjungi secara langsung ketika customer benar-benar membutuhkan buku sangat cepat namun tetap ingin melihat kondisi bukunya.
Penghasilan yang didapatkan juga bisa lebih besar, karena datang dua arah, yakni secara langsung dan online.
Membaca Nasib Literasi Indonesia
Terlepas dari libasan era disrupsi, masih ada solusi untuk bisa beradaptasi, namun apalagi yang menjadi tantangan toko buku?
Melansir dari Indonesiabaik.id dan Perpusnas, pada tahun 2016 hingga 2022 tingkat kegemaran membaca khususnya masyarakat Indonesia terus berangsur meningkat. Pada 2016 hanya berada diangka 26,5 persen, namun hingga 2022 meningkat hingga 63,9 persen.
Terlepas dari angka di atas, mewarta dari Kompas.id, saat ini kita berada di era post-literate society, di mana kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi ragam informasi via teks kini sudah beralih menjadi paparan dalam bentuk video.
Kemudian, perubahan ini juga terjadi secara drastis pada dunia pendidikan, di mana siswa hingga mahasiswa sudah tidak terbiasa dan sangat kesulitan saat membaca kalimat (yang panjang) dalam suatu teks.
Masih dilansir dari sumber yang sama, menanggapi persoalan tersebut, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah beradaptasi dengan era ini, di mana tetap menjadikan buku sebagai sumber dan media utamanya.
Sebagai contoh nyata, seperti sebuah konten atau promosi film/novel tertentu yang tetap merujuk pada penggunaan buku sebagai sumber terakurat, di mana poin-poin yang hadir didalamnya menjadi acuan oleh si pembuat konten.
Lagi, pada media online, mempunyai warna akan bahasa dalam membahas berbagai peristiwa, dan dalam penelitiannya 'masih' bahkan terus menyandarkan dan membutuhkan buku-buku sebagai referensinya.
Hal ini, tanpa disadari ikut menantang pada penjual buku untuk tetap eksis dan beradaptasi dengan perubahan besar, bukan hanya sekedar menjual melainkan juga terjun langsung untuk mempromosikan buku secara online, seperti dalam pembuatan konten untuk menarik pembeli, hingga menyelami seluk promosi lainnya.
Tetap Hidup dan Optimistis
Secara garis besar, buku masih dibutuhkan, sekalipun sudah mulai deras beragam informasi dalam bentuk video/audio visual.
Tantangan untuk toko buku sendiri adalah bagaimana caranya supaya bisa menyesuaikan kondisi dengan aksentuasi para pembaca yang makin condong memakai perangkat digital.
Seperti yang sudah terjawab pada laman sebelumnya, yakni dengan cara menghadirkan wajah baru untuk bertransaksi buku, misal memberikan berbagai promo menarik.
Bergugurannya lapak-lapak buku bekas secara fisik tak menjadi penyebab rasa cinta masyarakat terhadap buku luntur, melainkan menjadi tantangan tersendiri untuk pegiat literasi hingga penjual buku.
Supaya bukan lagi sekedar memajang buku-buku di rak lalu berharap bisa menarik banyak pembeli yang datang, tetapi mulai ikut berinovasi dengan konsep atau nuansa toko yang menyesuaikan kesukaannya para masyarakat khususnya generasi muda.
Seperti misal, toko buku bekas dengan nuansa antik yang menghadirkan wajah baru bernuansa kafe atau tetap pada wajah aslinya namun bergelut melalui live streaming yang bukan hanya memasarkan buku saja melainkan juga memperkenal seperti apa wajah fisik tokonya,
Barangkali ada customer yang tertarik dan mau berkunjung, atau bisa juga ikut membuat konten-konten review (entah novel, komik, dsb) yang memproduksi teks/isi bukunya menjadi bentuk video/audio visual.
Begitu zaman serba digital sudah sampai, maka yang menjadi kunci penjual buku adalah ikut beradaptasi.
Bukan untuk meninggalkan lapak tradisional, melainkan turut memperkenalkan buku-buku secara global hingga bisa lebih mudah dan spesifik dalam menyasar pelanggan.
Semoga ulasan ini bermanfaat dan menambah wawasanmu dalam mengenal dunia jual-beli buku bekas ya. Salam literasi, semoga sehat-sehat selalu untuk kamu yang lagi membaca artikel ini.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Toko Buku Bekas: Dulu Mendominasi, Kini Terlibas Era Disrupsi dan Tantangan Literasi"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.