Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Efwe
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Efwe adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Apa yang Berbeda dari Pinjol yang Berganti Jadi Pindar?

Kompas.com - 28/12/2024, 13:21 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Sebagai bagian dari ekosistem keuangan digital yang berkembang pesat, pinjol menawarkan kemudahan akses terhadap dana. 

Namun, di balik kemudahannya, istilah pinjol telah menjadi sinonim untuk praktik-praktik bisnis yang tidak etis. Bunga yang sangat tinggi tanpa transparansi, penagihan yang agresif dan intimidatif, serta pelanggaran privasi data menjadi hal yang umum terjadi. 

Stigma negatif yang melekat pada pinjol tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi juga berdampak pada psikologis para peminjam. 

Tekanan untuk melunasi utang dengan cepat, ancaman dari debt collector, dan perasaan malu seringkali membuat peminjam terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diputus. 

Hal ini dapat menyebabkan stres, depresi, hingga dalam beberapa kasus nasabahnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Alhasil stigma negatif yang melekat pada pinjol mengakar kuat dalam benak masyarakat.

Hal ini ironis mengingat potensi positif yang sebenarnya dimiliki oleh layanan ini. Pinjol dapat menjadi solusi finansial yang cepat dan mudah, terutama untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau modal usaha. 

Namun, praktik bisnis yang tidak etis dari sebagian pelaku industri telah menodai citra pinjol secara keseluruhan.

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan pesat industri pinjaman online di Indonesia. Per Oktober 2024, total pembiayaan pinjol mencapai Rp75,02 triliun, meningkat 29,23% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Jumlah pengguna aktif pinjol pun sangat signifikan, mencapai sekitar 20,91 juta akun, atau setara dengan hampir 8% dari total penduduk Indonesia. 

Pertumbuhan ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap layanan peer to peer lending. 

Namun, di balik angka pertumbuhan yang menjanjikan, ya itu tadi, pinjol juga dihadapkan pada berbagai permasalahan, terutama terkait dengan praktik bisnis yang tidak etis dari sebagian pelaku usaha. 

Akibatnya, stigma negatif yang melekat pada pinjol semakin menguat di kalangan masyarakat.

Dari Pinjol Menjadi Pindar

Sebagai bagian dari upaya mengubah persepsi negatif ini, Asosiasi Perusahaan Financial Teknologi dengan dukungan OJK sepakat mengganti istilah pinjaman online "pinjol" menjadi pinjaman daring (pindar).

Pindar dimaknai sebagai Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LBBTI) Legal, yang berizin atau terdaftar di OJK. Sementara, istilah "pinjol" dianggap sebagai P2P Lending ilegal, yang tak berizin OJK.

Menurut, Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, pergantian istilah tersebut termasuk dalam implementasi penguatan tata kelola yang baik dan penguatan manajemen risiko penyelenggaraan.

Dengan pembedaan nama branding, diharapkan bisa memudahkan masyarakat dalam mengidentifikasi entitas LPBBTI yang memiliki izin resmi dari OJK.

Perubahan nama dari pinjol menjadi pindar adalah langkah awal yang baik untuk memperbaiki citra industri pinjaman online.

Tak Hanya Nama, Perilaku Juga Mesti Berubah

Namun, keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada perubahan perilaku para pelaku usaha.

Selama praktik-praktik seperti bunga tinggi yang tidak transparan, penagihan yang intimidatif, dan pelanggaran data pribadi masih terjadi, stigma negatif terhadap pinjol akan sulit dihilangkan. 

Masyarakat akan tetap skeptis terhadap layanan ini, berapa kali pun perubahan nama dilakukan.

Terlepas dari kelalaian nasabah peminjam dalam membayar kembali pinjamannya, praktik penagihan yang kurang beradab dan tak beretika ini lah yang membuat nama "pinjol" sangat buruk di mata masyarakat Indonesia.

Praktik penagihan yang tidak etis dalam industri pinjol telah menimbulkan dampak sosial yang sangat serius. 

Kasus-kasus bunuh diri yang dikaitkan dengan pinjol, seperti yang terbaru, terjadi di Kediri dan Ciputat, menjadi bukti nyata bahwa masalah ini tidak dapat diabaikan. 

Perubahan nama menjadi pindar adalah langkah awal yang baik, namun perubahan yang lebih mendasar diperlukan. 

Pemerintah dan regulator harus memperketat pengawasan, sementara pelaku usaha harus berkomitmen untuk menjalankan bisnis secara etis dan transparan. Hanya dengan demikian, stigma negatif terhadap pinjol dapat dihilangkan dan industri ini dapat berkembang secara sehat.

Dan jangan lupa literasi keuangan menjadi sangat penting bagi masyarakat agar masyarakat mampu menggunakan Pindar dengan bijak.

Penutup

Perubahan istilah dari "pinjol" menjadi "pindar" merupakan langkah progresif dalam upaya meningkatkan citra positif industri fintech peer-to-peer lending di Indonesia. 

Meskipun demikian, keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk terus memperbaiki kualitas layanan dan perlindungan konsumen.

Meski sudah berganti dari Pinjol jadi Pindar, harapannya masyarakat mesti tetap bijak dalam memilih penyedia layanan pinjaman daring. Utamakan bahwa lembaga tersebut telah terdaftar dan diawasi oleh OJK.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketika Pinjol Berubah Menjadi Pindar, Sekadar Ganti Baju atau Transformasi Menyeluruh?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau