Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Namun, dalam praktiknya, banyak orang tua merasa bahwa sumbangan sekolah sering kali menyerupai pungutan. Kesalahpahaman ini berakar dari perbedaan pemahaman mengenai definisi pungutan dan sumbangan.
Berdasarkan Pasal 1 Permendikbud yang sama, pungutan didefinisikan sebagai penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya telah ditentukan. Sementara itu, sumbangan bersifat sukarela dan tidak boleh mengandung unsur pemaksaan.
Meski demikian, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sekolah kerap menargetkan sumbangan dalam jumlah tertentu guna mendukung kebutuhan operasionalnya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk memastikan keberlangsungan program pendidikan dan kegiatan siswa.
Sebelum tahun ajaran baru dimulai, sekolah biasanya telah menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk satu tahun pelajaran, dari Juli hingga Juni tahun berikutnya.
RKAS ini memuat berbagai kebutuhan, mulai dari pengadaan sarana dan prasarana hingga pelaksanaan kegiatan akademik dan ekstrakurikuler.
Sebagai contoh, jika total kebutuhan anggaran sekolah dalam satu tahun adalah Rp3 miliar dan jumlah siswa adalah 1.000 orang, maka secara matematis, sumbangan yang dibutuhkan per siswa adalah Rp3 juta.
Untuk memastikan keberlangsungan program, sekolah sering kali meminta orang tua mengisi dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan sumbangan. Pada titik inilah sering muncul kesalahpahaman.
Di satu sisi, sekolah merasa perlu menyampaikan jumlah kebutuhan dana agar perencanaan berjalan baik.
Sesuai Pasal 10 Ayat 3 Permendikbud 75/2016, komite sekolah memang harus menyusun proposal perencanaan kegiatan sebelum melakukan penggalangan dana.
Oleh karena itu, wajar jika sekolah menyampaikan estimasi kebutuhan dana dan menginformasikan perkiraan kontribusi per siswa.
Namun, di sisi lain, orang tua sering kali merasa terbebani dengan adanya angka tertentu dan batas waktu pembayaran, sehingga sumbangan ini terasa seperti kewajiban.
Kesenjangan pemahaman ini diperparah oleh kenyataan bahwa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak selalu mencukupi seluruh kebutuhan sekolah.
Banyak kegiatan primer tidak sepenuhnya didanai oleh BOS, sehingga sekolah harus mencari sumber pendanaan tambahan, termasuk dari orang tua siswa.
Surat pernyataan kesanggupan sebenarnya merupakan alat transparansi dan perencanaan anggaran yang membantu sekolah memperkirakan jumlah dana yang dapat terkumpul. Namun, ketika alat ini dipahami sebagai kewajiban, konflik pun muncul.