Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Mencermati tentang kasus keluhan dari para pengusaha di Kabupaten Lebak terkait adanya banyak permintaan dana untuk Tunjangan Hari Raya (THR) dari Organisasi Masyarakat (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tindakan mereka itu sudah dianggap sebagai pungutan liar yang secara otomatis akan membebani anggaran keuangan perusahaan yang menjadi korbannya. Baca di sini (Kompas.com, 18/03/2025).
Kasus tersebut tak ayal memicu banyak tanggapan dari para pejabat berwenang dan terkait mulai Kang Dedi Mulyadi, selaku Gubernur Jawa Barat dengan gebrakannya yang berani melawan aksi premanisme di wilayahnya dan kontroversial sampai ada tagar 'Jabar Darurat Preman', Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kapolres Purbalingga, dari Pejabat dari Polresta Pekanbaru, Sumatera dan masih banyak pejabat dari berbagai daerah atau Provinsi lainnya.
Mereka semua memberikan respon cepat dengan menghimbau kepada masyarakat, kepada lembaga swasta atau instansi pemerintah dan individual untuk menolak setiap pungutan liar dalam bentuk apapun dari Ormas atau LSM, baik secara secara terang-terangan atau sembunyi melalui surat permintaan dengan dalih uang tunjangan hari raya (THR).
Apa iya semudah itu, yaitu penguasa hanya mengimbau begitu saja kepada para pengusaha tanpa memberikan jaminan perlindungan keamanan dan kepastian hukum pada mereka? Jika terjadi aksi premanisme, harus melapor pada siapa? Apakah akan segera ada tindakan hukum? Jangan-jangan mereka semua kebal hukum?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di masyarakat bilamana para penegak hukum di kita hanya menanggapi kasus tersebut secara lisan yang akhirnya mengarah ke retorika politis belaka dan jika tidak ada tindakan hukum yang nyata, justru tindakan premanisme di negeri ini akan semakin merajalela serta meningkat jumlahnya. Masyarakat menjadi pesimis dan hilang tingkat kepercayaannya pada para pejabat publik atau penegak hukum di negeri ini.
Sejujurnya, kasus permintaan dana dengan memaksa semacam itu tidak terjadi di saat menjelang Hari Raya Idhul fitri tiba saja, namun juga hampir terjadi setiap hari di lembaga negeri atau swasta di mana saja dan kapan saja. Mereka mengaku sebagai anggota organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dengan dalih uang keamanan atau tutup mulut.
Ujung-ujungnya adalah pemerasan (blackmailed) agar semua aman. Jika tidak mau, tempat usaha mereka akan dirusak oleh mereka yang mengaku anggota Ormas.
Apabila ditangkap dan dibawa ke ranah hukum, semua akan mengelak bahwa itu adalah perbuatan oknum dan tidak mewakili lembaga atau organisasi masyarakat tersebut.
Bagi para pengusaha, mereka menempatkan dirinya sebagai pedagang dan dalam proses bisnisnya ada take and give, yaitu menjual jasa atau barang dengan mendapatkan keuntungan secara finansial.
Namun, bila diminta menyumbangkan sejumlah dana tanpa ada timbal balik dan saling menguntungkan dengan memberikan kontribusi pada perusahaan, klausa itu yang disebut sebagai suatu kerugian bagi sisi pengusaha.
Hal yang menarik dari perilaku aksi premanisme yang merugikan dalam kasus meminta dana secara halus, ancaman ataupun kekerasan kepada orang, lembaga dan instansi negeri atau swasta dan perusahaan agar ada "uang damai" adalah, bila tidak dituruti kemauan mereka, muncullah perilaku kekerasan fisik yang dianggap meresahkan lapisan masyarakat.
Selanjutnya timbul pertanyaan yang jarang terucap bahwa apakah kegiatan premanisme seperti itu adalah bagian dari budaya kita dan mereka kebal terhadap hukum?
Sebelum menjawabnya, Marilah kita pahami dulu sebenarnya premanisme itu berasal dari kata apa?
Secara semantik dalam kebahasaan, kata itu berasal dari kata bahasa Inggris "freeman" yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "preman".
Sedangkan dari maknanya, kata freeman, pertama bisa berarti orang bebas dari perbudakan (freedmen-freedwomen) dan dilakukan secara sah melalui jual beli budak, emansipasi atau manumisi (budak yang dibebaskan oleh majikannya sendiri tanpa syarat).