Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Septian Ananggadipa
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Septian Ananggadipa adalah seorang yang berprofesi sebagai Auditor. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kompas.com - 14/04/2025, 17:24 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ketika Donald Trump kembali duduk di Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), banyak pihak bersiap-siap menghadapi turbulensi ekonomi global.

Tak butuh waktu lama sampai istilah Trumponomics---yang sempat populer di periode pertamanya---kembali jadi perbincangan hangat. Dan seperti deja vu, dunia kembali dihadapkan pada serangkaian kebijakan ekonomi yang agresif dan penuh kejutan.

Trumponomics sejatinya bukan hal baru. Istilah ini mulai sering muncul sejak 2016 untuk menggambarkan pendekatan kebijakan ekonomi Trump yang cenderung proteksionis, penuh tekanan, dan seringkali tidak terduga.

Salah satu warisan paling kentara dari periode pertama kepresidenan Trump adalah perang dagang dengan China yang sempat mengguncang pasar global dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi di berbagai belahan dunia.

Kini, di periode keduanya yang dimulai sejak Januari 2025, Trump tampaknya ingin segera melanjutkan babak baru dari saga Trumponomics.

Hanya dalam hitungan minggu, ia langsung menandatangani Executive Order yang menetapkan tarif impor 25% untuk baja, aluminium, dan otomotif. Meski langsung memicu berbagai kritik, ternyata itu baru permulaan.

Kejutan lebih besar datang pada 2 April 2025, saat Trump berpidato dalam sebuah event yang ia sebut sebagai "Liberation Day."

Dalam pidato tersebut, ia mengumumkan tarif dasar 10% untuk seluruh barang impor, serta tarif tambahan yang lebih tinggi untuk barang dari 57 negara---termasuk Indonesia, yang terkena tarif hingga 32%. Bahkan sekutu dekat AS seperti Kanada dan Uni Eropa pun tak luput dari kebijakan ini.

Reaksi pasar? Tentu saja terkejut dan kacau. Dalam hitungan hari, indeks saham utama seperti S&P 500, Nikkei, hingga Hang Seng merosot tajam---turun sekitar 15% dalam waktu singkat.

Pasar global merespons dengan panik, mencerminkan keresahan akan masa depan perdagangan internasional yang penuh ketidakpastian.

Namun seperti gaya Trump yang khas, keriuhan belum selesai. Tepat seminggu setelah pengumuman tarif besar-besaran itu, di tengah kekacauan pasar modal dan surat utang, ia mengumumkan penundaan selama 90 hari terhadap pengenaan tarif tambahan.

Meskipun di sisi lain, China malah dipukul lebih keras, dengan tarif yang dinaikkan menjadi 125%.

Tampaknya Trump sangat tidak suka dengan respons "berani" dari China yang langsung membalas kebijakan tarif AS. Ketika AS mengenakan tarif 34%, China membalas dengan tarif yang sama.

Saat AS menaikkan tarif menjadi 125%, China kembali merespons dengan tarif sama. Perang tarif ini makin terasa seperti adu ego, ketimbang kebijakan ekonomi berbasis data.

Trumponomics versi 2025 ini menunjukkan satu hal penting: Trump ingin dunia tunduk, tapi tidak suka dunia melawan balik.

Pendekatan ini tak hanya menciptakan ketegangan diplomatik, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang arah sistem perdagangan global ke depan.

Dari kebijakan tarif Trump kali ini, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dikritisi dari pendekatan ini---dan mungkin sudah waktunya publik mulai mendiskusikannya secara lebih terbuka.

Logika di Balik Angka

Hal pertama yang paling mencuri perhatian dari pengumuman tarif pada "Liberation Day" adalah angka-angka tarif yang diklaim oleh Pemerintah AS.

Dalam sebuah tabel yang ditampilkan langsung oleh Donald Trump, Indonesia disebut mengenakan tarif sebesar 64% terhadap barang-barang asal Amerika Serikat yang masuk ke pasar domestiknya.

Sebagai respons atas angka tersebut, AS pun menetapkan tarif balasan sebesar 32% untuk seluruh produk impor dari Indonesia.

Klaim ini tentu mengundang pertanyaan besar. Apakah benar Indonesia menetapkan tarif sebesar itu untuk produk AS?

Ternyata, angka 64% tersebut bukanlah tarif impor dalam arti sebenarnya. Berdasarkan penjelasan lanjutan dari pemerintah AS, angka itu berasal dari perbandingan defisit perdagangan Indonesia dengan AS.

Departemen Perdagangan AS mencatat bahwa mereka mengimpor barang senilai 28,1 miliar dolar dari Indonesia, sementara ekspor mereka ke Indonesia hanya 10,2 miliar dolar.

Selisih antara keduanya---yakni defisit sebesar 17,9 miliar dolar---dibagi dengan nilai impor dari Indonesia (28,1 miliar dolar), menghasilkan angka 64%.

Rasio tersebut kemudian dikalikan dengan angka arbitrer, yang entah dasarnya apa, sebesar 50% untuk "menentukan" besaran tarif balasan. Hasil akhirnya: tarif impor sebesar 32% untuk barang Indonesia yang masuk ke pasar AS.

Hitung-hitungan tersebut dasarnya dari mana? Berdasarkan teori apa?

Tidak ada! Perhitungan semacam ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi manapun, dan tidak memiliki dasar logis sebagai acuan kebijakan perdagangan. Ia bahkan tidak mengacu pada struktur tarif aktual, struktur biaya produksi, atau kerangka World Trade Organization (WTO).

Tidak heran jika banyak ekonom terkemuka langsung menyampaikan kritik tajam. Gregory Mankiw, Professor dari Harvard University menyebut kebijakan tarif Trump sebagai malpraktik ekonomi.

Jeffrey Sachs, Professor dari Columbia University bahkan menilai kebijakan ini berbahaya karena menjauhkan AS dari sistem perdagangan berbasis aturan. Dari dalam negeri Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pendekatan ini tidak sesuai dengan logika ekonomi global.

Ironisnya, ini semua datang dari AS---negara yang selama puluhan tahun memposisikan diri sebagai penjaga sistem perdagangan bebas dan pusat keuangan dunia.

Kini, mereka justru mengandalkan metode perhitungan tarif yang tidak didukung oleh teori ekonomi manapun, tetapi berpotensi menimbulkan gejolak besar bagi ekonomi global.

Hanya Melihat Sebagian

Hal kedua yang menjadi sorotan pelaku pasar dan pengamat ekonomi adalah pendekatan sempit yang diambil oleh Presiden Trump dalam kebijakan tarifnya.

Dalam berbagai pernyataan dan kebijakan ekonominya, Trump sangat berfokus pada perdagangan barang (goods trade)---khususnya produk-produk seperti baja, aluminium, dan otomotif.

Di periode keduanya ini, Trump kembali membawa slogan yang sudah familiar sejak 2016: America First! dan Make America Great Again (MAGA).

Melalui kerangka Trumponomics yang cenderung proteksionis, tujuan utamanya semakin diperjelas: memangkas defisit neraca perdagangan dan mendorong kembali industri manufaktur AS.

Namun pendekatannya dalam konteks kebijakan tarif kali ini terlalu sempit. Ia cenderung hanya melihat angka defisit dari sisi barang, tanpa mempertimbangkan bagaimana struktur ekonomi multilateral bekerja dalam sistem global.

Secara sederhana, defisit perdagangan barang AS memang besar. Amerika lebih banyak mengimpor barang dibanding mengekspor---lebih banyak membeli dari negara lain daripada memproduksi sendiri.

Mengapa itu terjadi? Bukankah AS dikenal sebagai negara kaya dengan teknologi tinggi?

Jawabannya terletak pada struktur bisnis internasional. Di era globalisasi, banyak perusahaan raksasa asal AS---seperti Apple, Amazon, Nike, Ford, hingga Dell---telah memindahkan fasilitas produksi utama mereka ke berbagai negara dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah, seperti China, Meksiko, Vietnam, India, dan tentu saja Indonesia.

Ambil contoh Nike, yang sebagian besar produksinya dilakukan di Vietnam dan Indonesia. Sebagian sepatu yang telah diproduksi itu kemudian dikirim kembali ke pasar AS dan dicatat sebagai barang impor dari Vietnam dan Indonesia. Sebagian lain langsung didistribusikan dan dipasarkan ke berbagai negara.

Padahal, perusahaan induk Nike tetap bermarkas di Oregon, AS. Bagaimana dengan keuntungan penjualannya secara global? Sebagian besar keuntungan dari proses itu tetap masuk ke Nike pusat, membayar pajak di AS, dan memberi manfaat pada pemegang saham di AS.

Trump tampaknya memilih untuk tidak melihat realitas ini. Atau ia memang sengaja mengabaikan fakta bahwa dalam sistem perdagangan modern, rantai pasok bersifat lintas batas dan saling terintegrasi.

Lebih jauh lagi, ada satu sektor penting yang hampir sepenuhnya luput dari perhatian: sektor jasa (services trade).

Amerika Serikat justru mencatat surplus besar dalam perdagangan jasa. AS adalah pelaku utama jasa di level global seperti hukum, teknologi informasi, konsultansi, keuangan, dan pendidikan.

Konsumennya dari seluruh dunia dan sebagian besar transaksi tentu menggunakan dolar AS.

Surplus jasa ini selama bertahun-tahun menjadi penopang neraca berjalan AS. Tapi dalam retorika Trump, sektor ini seakan tidak pernah disebut. Kondisi yang ditekankan hanya angka defisit perdagangan barang, seolah itu satu-satunya ukuran kesehatan ekonomi AS.

Bayang-bayang Depresi

Pengenaan tarif tinggi ke berbagai negara ini membangkitkan memori kelam di ekonomi global. Pada tahun 1930, pemerintahan Amerika Serikat mengesahkan Smoot-Hawley Act, sebuah undang-undang yang menaikkan tarif lebih dari 20.000 barang impor.

Hal itu dilakukan untuk melindungi industri domestik AS di tengah Great Depression, salah satu krisis keuangan paling dahsyat yang terjadi akibat ketidakseimbangan keuangan global pasca World War I dan spekulasi di pasar keuangan AS.

Alih-alih memulihkan ekonomi, kebijakan proteksionis itu ternyata malah memperdalam depresi. Negara-negara lain membalas dengan tarif tinggi, mengakibatkan perdagangan internasional menurun drastis. Volume perdagangan global jatuh hampir 60%.

Rantai produksi terganggu, permintaan melemah, dan akhirnya banyak pabrik tutup, pengangguran melonjak, kredit macet di mana-mana, hingga sistem perbankan mulai runtuh.

Krisis ekonomi itu berlangsung dari 1929 hingga 1933, dan tercatat sebagai salah satu periode tergelap dalam sejarah ekonomi modern.

Dunia tentu tidak sedang dalam kondisi sama persis seperti 1930, tapi sejarah memberi sinyal kuat bahwa kebijakan proteksionisme ekstrem-apalagi secara unilateral-bukan tanpa risiko. Jika AS terus mendorong dunia ke dalam perang dagang yang semakin dalam, efek buruknya bisa menciptakan ketidakpastian besar dalam perekonomian global.

Peringatan pun berdatangan dari berbagai penjuru. Para investor kawakan seperti Bill Ackman dan Mark Cuban menyebut langkah tarif Trump sebagai sebuah kesalahan yang berpotensi semakin meningkatkan ketidakpastian ekonomi dunia.

Jamie Dimon, CEO JP Morgan Chase, bahkan menyampaikan bahwa sejumlah klien internasional mulai memindahkan aset dan transaksi ke bank-bank lokal akibat meningkatnya sentimen anti-Amerika.

Selain itu, Goldman Sachs memperkirakan kemungkinan resesi di AS naik menjadi 45% jika tensi dagang terus berlanjut.

Sementara JP Morgan memberikan proyeksi lebih serius: potensi resesi global meningkat menjadi 60% dalam tahun ini, dipicu oleh kebijakan tarif yang bersifat disruptif.

Trumponomics memang sedang menggebrak dan menantang dunia dengan lantang. Tapi dunia juga punya pilihan untuk merespons dengan kepala dingin, argumentasi yang rasional, dan langkah-langkah strategis.

Jika bisa melewati semua tekanan dengan baik, bukan tidak mungkin gejolak ini justru menjadi awal dari babak baru ekonomi global yang lebih adaptif dan inklusif.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Trumponomics: Ketika Amerika Menantang Seluruh Dunia"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
'Fatherless' bagi Anak Laki-laki dan Perempuan

"Fatherless" bagi Anak Laki-laki dan Perempuan

Kata Netizen
Mudik Backpacker, Jejak Karbon, dan Cerita Perjalanan

Mudik Backpacker, Jejak Karbon, dan Cerita Perjalanan

Kata Netizen
Antara RTB dan Kualitas Hidup Warga Jakarta?

Antara RTB dan Kualitas Hidup Warga Jakarta?

Kata Netizen
Apa yang Membuat Hidup Sederhana Jadi Pilihan?

Apa yang Membuat Hidup Sederhana Jadi Pilihan?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau