Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Misalnya, "Kamu lihat diri kamu di mana lima tahun lagi?" Jika memberi jawaban sambil bercanda, "Di pantai sambil jualan kelapa," pasti bikin kamu gugur.
Terus ada lagi pertanyaan klasik, "Apa alasan kamu mau kerja di sini?" Kalau kamu jawab, "Karena saya butuh pemasukan untuk menghidupi keluarga," mereka bakal anggap kamu lebih mementingkan uang. Padahal sudah jawab jujur. Bye-bye juga.
Belum lagi kalau kamu harus ikut tes kerja. Kadang-kadang, tesnya nggak ada hubungannya sama posisi yang kamu lamar.
Mau jadi graphic designer, tapi tesnya disuruh bikin proposal marketing. Hah? Ada juga yang iseng kasih soal matematika SMA, padahal kamu cuma daftar jadi admin.
Sekarang ada banyak teknologi yang katanya mempermudah proses melamar kerja, tetapi kadang malah bikin stres.
Belum lagi budaya follow up. Zaman dulu, kamu tinggal nunggu telepon rumah. Sekarang kalau nggak follow up, dianggap nggak niat. Kalau terlalu sering follow up? Malah bikin HR ilfeel. Jadi kamu harus pintar-pintar membaca situasi, kayak main poker.
Melamar kerja zaman sekarang memang ribet, tapi ada sisi positifnya. Proses yang panjang dan melelahkan ini bikin kita lebih siap mental dan lebih terlatih untuk bersaing. Kamu belajar skill baru, dari membuat CV yang benar sampai cara bicara yang meyakinkan di depan panel HR.
Tapi ya, kadang tetap pengen bilang ke HR, "Boleh nggak sekali-sekali kita balik ke cara lama?" Atau minimal, potong satu putaran interview aja, biar hidup kita nggak kayak sinetron "Tersanjung" yang bisa bermusim-musim.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Melamar Kerja, Dulu vs Sekarang"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.