Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam pemandangan keseharian warga kota, hal sama berlaku juga bagi para pekerja pelabuhan (buruh, kuli angkut).
Pagi di jam kerja, mereka memasuki kota Donggala. Hingga petang, bahkan malam---bila harus bekerja lembur. Mereka lalu kembali ke rumah di pinggiran kota dengan sepeda. Atau, melintasi kampung-kampung jauh dengan menumpang gratis di truk-truk barang.
Jamak terlihat, di pagi yang cerah ibu-ibu ke pasar membawa serta tas atau keranjang belanjaan mereka.
Lalu, mengatur makan siang buat keluarga. Anak-anak sekolah yang agak besar, berangkat pagi dan pulang di waktu siang. Makan, dan menghabiskan sore dengan bermain.
Pada siang yang masih terik, di ruas-ruas jalan padat pemukiman yang tak panjang, lelaki-lelaki berkulit legam sering melintas. Kerap tak beralas kaki, seraya memikul ikan-ikan untuk dijual.
Pedagang keliling ini menggunakan pikulan kayu panjang di bahu. Renceng-renceng ikan itu ditaruh di bagian depan dan belakang, sehingga membentuk keseimbangan saat dipikul.
Sebagian (kecil) ikan tersebut saya duga berasal dari yang tersisa dari tangkapan semalam. Dijajakan segera dengan cara berkeliling.
Sebagian lagi, ikan-ikan segar yang baru naik dari laut. Hasil tangkapan nelayan dari pantai agak jauh atau para pemancing perseorangan yang baru mengakhiri aktivitasnya.
Ikan-ikan yang diperdagangkan secara berkeliling itu, dijual tanpa membutuhkan alat timbang. Takaran untuk menentukan harga jual, berdasarkan ikatan. Talinya terbuat dari bambu, melewati insang ikan-ikan, membentuk rencengan.
Jumlah ikan per renceng yang dijual, bervariasi jumlahnya. Umumnya semakin kecil ukuran ikannya, akan semakin banyak pula jumlah ikan dalam satu renceng.
Pedagang Keliling Sistem Barter
TANGKAPAN hasil laut ini, bisa bervariasi. Bukan hanya berbagai jenis ikan, tetapi juga lainnya. Terkadang, pemburu teripang ikut berjualan dengan berkeliling kota. Bahkan, sesekali kita bisa menjumpai penjual penyu atau kura-kura.
Mengenai jualan pedagang keliling yang satu ini, adalah favorit untuk dibeli ayah saya bila beliau sedang di toko. Atau, bila beliau menjumpainya dalam perjalanan, lalu diajak ke rumah untuk bertransaksi.
Namun demikian, ada jenis pedagang keliling lain yang kala itu tidak saya pahami benar model transaksinya.
Rupiah bukanlah alat tukarnya, melainkan sistem barter---seperti kisah-kisah di masa lampau era bedil sundut. Untuk model barter ini, nenek saya bisa memeroleh bahan pangan seperti palawija dan beberapa butir telur.
Sebagai catatan, pada masa itu satuan pengukuran untuk beras, kacang hijau, dan kacang tanah adalah liter. Wadahnya telah tersedia dan mudah dibeli sebagai produk pabrikan. Beras, kacang hijau, atau kacang tanah diisikan ke dalamnya hingga memuncak, lalu diratakan dengan tongkat pendek, sekali ayun.
Transaksi gaya barter ini, berlangsung di dalam rumah. Seorang perempuan agak berumur akan datang ke rumah kami. Di ruang keluarga rumah kami, ibu itu menurunkan bawaannya.
Lalu, nenek dan tante saya akan mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang tak lagi dipakai. Nenek saya akan menyodorkan, misalnya, selembar pakaian. Si ibu tadi akan merespons dengan menyebutkan takaran tukarnya, berdasarkan apa yang dibawanya.
"Ini masih bagus, tambah setengah liter kacang tanahlah," kira-kira seperti itu ingatan saya terhadap ucapan nenek saya. Demikian seterusnya, satu per satu, hingga tak ada lagi baju, rok, atau celana untuk dibarter dengan palawija dan telur ayam.
Momen-momen seperti itu, sungguh mengasyikkan untuk saya dinikmati. Ketika transaksi barter tersebut berlangsung, saya akan duduk diam di sofa atau anak tangga. Saya mengamati interaksi dan perbincangan yang mengemuka kala itu sebagai tontonan yang memikat, seperti seorang observer.
Pedagang Keliling Pra-pesan