Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
ADA jenis pedagang keliling lain yang unik di Donggala. Model bisnisnya, sejenis pra-pesan (pre-order). Orang ini, sesuai dengan penugasan dari tuannya, akan menjalankan aktivitas mirip sales produk indent.
Sebagai informasi, bisnis atasannya adalah mengelola peternakan sekaligus penggemukan hewan. Namun hewan yang dikembangkannya ini, hanya yang jenis tertentu. Maka, produk yang ditawarkannya dari rumah ke rumah adalah pemesanan daging potong.
Dengan modal kertas lusuh untuk diisi, dia akan mendatangi rumah ke rumah warga Tionghoa untuk menitipkan kertas tersebut. Setiap rumah, akan menuliskan pesanannya. Boleh memilih bagian daging sebelah mana dan ingin membeli seberapa banyak.
Lalu, dia akan berkeliling lagi untuk mengambil kertas pesanan tersebut. Ketika tiba hari pemotongan hewan, pagi-pagi benar pesanan-pesanan tersebut kemudian diantar ke rumah-rumah pemesan.
Model pedagang keliling pra-pesan ini sepertinya pilihan paling efektif dan bijaksana untuk ditempuh, mengingat ternak yang hendak disembelih tersebut berukuran cukup besar sementara pembelinya sangat terbatas.
Jumlah penduduk Donggala yang tidak banyak, tentu market-nya semakin menyusut bila mayoritas kebutuhan akan produknya hanya datang dari etnis tertentu. Dalam hal ini, lebih banyak dikonsumsi oleh warga Tionghoa.
Lahirnya Pedagang Keliling Malam di Donggala
BEGITULAH kisah pedagang keliling yang memenuhi ingatan saya kala itu. Kisah-kisah ini mengungkap tentang perniagaan jalanan yang berlangsung di waktu tertentu, terutama jelang siang hingga sore. Plus, munculnya mas-mas penjual bakso yang merintis hadirnya pedagang keliling malam hari.
Kehadiran mas bakso agak mengubah persepsi warga saat itu, di mana pada malam hari kota cenderung tanpa aktivitas yang berarti. Toko-toko tutup. Warga dewasa bersiap mengakhiri hari dengan mandi, makan malam, mengobrol sebentar, lalu tidur.
Pemandangan umum yang ada, anak-anak lelaki menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas, termasuk bermain sepak bola atau basket. Sementara anak-anak perempuan, memainkan permainan khas anak perempuan seperti lompat tali.
Sementara pada malam hari, para remaja beraktivitas bersama kelompoknya dan anak-anak muda biasanya kongkow beramai-ramai. Jika bulan sedang purnama, maka itu waktu yang terbaik untuk bermain di badan jalan. Misalnya, bermain gobak sodor.
Namun beberapa tahun kemudian, pada malam hari, terdengar bunyi sesuatu. Suara mangkok berbenturan dengan sendok. Sumbernya berasal dari gerobak yang didorong.
Jreng! Tampaklah mas-mas asal Jawa sedang menjajakan bakso. Kami sempat takjub dan mengenalinya bakso yang dijual itu, bukanlah bakwan. Jika bakwan berkuah cenderung bening, maka bakso ini berkuah kehitaman---gara-gara kecap manis.
Saya masih mengingatnya, bakso-bakso tersebut ditawarkan berdasarkan jumlah butir yang dikehendaki. Ukurannya, lebih kecil bila dibandingnya dengan bakso yang lazim kita temui di masa kini. Sebagai "teman" bakso dalam mangkok, si mas menggunakan laksa.
Seraya menanti dihidangkan, saya mendengar percakapan. Si mas menjelaskan bahwa ia berasal dari pulau Jawa. Tiba di Sulawesi melalui jalur transmigrasi.
Sejak malam itu di Donggala, akhirnya hadir pedagang keliling yang mengambil segmen jam malam. Ada kehidupan lain yang berlangsung kota masa kecil saya itu.
Begitulah, para warga yang gemar menyantap bakso, bisa mengakhiri malam dengan perut lebih kenyang.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pedagang Keliling yang Saya Tahu: Donggala dan Kisah Masa Kecil"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.