Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mungkinkah Teknologi Pembelajaran Menggerus Kreativitas Guru?"
Sejak pandemi tahun 2020 lalu, pengaruh teknologi digital benar-benar tak dapat dielakkan dalam dunia pendidikan formal.
Teknologi mutakhir dengan segala jenisnya hadir sebagai solusi pembelajaran daring.
Momen langka era pandemi Covid-19 dengan pengalaman pembelajaran daring itu menyisakan residu dalam dunia pendidikan, terkhusus bagi saya sebagai guru yang baru mengajar sejak tahun 2017 lalu.
Ironi Pemanfaatan Teknologi dalam Proses Pembelajaran
Kini, siswa dan guru seperti tersedot oleh "kelumrahan" teknologi yang artifisial ataupun digital, baik di kelas maupun di luar kelas.
Lomba-lomba vlog mulai mendapat tempat di dunia pendidikan formal. Tidak hanya itu, game online pun mulai diperlombakan secara resmi di kalangan siswa.
Metode, pendekatan, hingga bentuk-bentuk konten pembelajaran pun diremajakan kembali.
Pelatihan-pelatihan dengan nafas "Ciptakan Pengajar Kreatif Melalui Pemanfaatan Teknologi" pun mulai bermunculan.
Kita yang saya sebut dalam tulisan ini yakni guru yang lahir era 1990-an, atau guru baru seperti saya tentu akan menikmati momen-momen perubahan gaya pengajaran ini.
Kendati demikian, saya berupaya melihat hubungan teknologi dan kreativitas itu dari sisi lain.
Bagi kita sebagai guru muda nan energik, yang percaya bahwa cara mengajar kita yang sarat dengan teknologi adalah bentuk kreativitas. Dalam hal ini justru saya merasa harus waspada, mengapa?
Jangan-jangan teknologi di dalam aktivitas mengajar dapat menjadi bumerang bagi kreativitas kita. Dengan bahasa sederhananya, apakah kita sedang menggunakan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran, atau justru kita sedang diperalat oleh teknologi?
Bayangkan, tanpa sadar, kita mulai menghabiskan waktu dengan gawai, membuat akun TikTok dan akun YouTube, lantas rutin membuat konten untuk membagikannya kepada para siswa. Lantas, benak kita berisi harapan agar jumlah viewer meningkat, tanpa peduli apakah siswa benar-benar membutuhkannya atau tidak. Kemudian, waktu kita habis menggauli perangkat belajar, tanpa sempat eksplorasi ilmu dan isi pembelajaran yang sudah lama lusuh.
Kasus lain misalnya, kita terpaku dengan aplikasi atau teknologi pendidikan yang membantu kita membuat kuis menarik bernuansa game virtual. Malam hari kita menyusun strategi dan konten pembelajaran dengan begitu menarik dan sedemikian rupa. Keesokan harinya tiba-tiba listrik mati dan tak ada daya untuk menghidupkan laptop. Lantas apakah kita berhenti mengajar?