Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hanya karena perangkat ajar serta persiapan dan perencanaan pembelajaran tidak dapat kita gunakan, bukan berarti kita berhenti membagikan ilmu.
Sikap dalam merespon masalah secara spontan, efektif, serta tepat sasaran pasti akan kita lakukan.
Saya cukup yakin kalau sebagian besar guru pernah mengalami hal ironi semacam itu dengan bentuk yang beragam. Dan jangan-jangan, ketika kita dapat mengatasi situasi semacam inilah, yang kemudian disebut sebagai daya kreativitas. Jika itu bukan kreatif, lantas apakah guru kreatif harus terikat dengan teknologi pembelajaran terkini?
Teknologi sebagai Alat Bukan sebagai Pusat
Para guru secara umum boleh jadi berposisi sebagai murid di hadapan gawai dan juga di tengah gelagat media sosial.
Kita tentu sudah tak canggung lagi melihat rekan kita yang lebih senior, kini mulai berpose dan posting foto atau materi pembelajaran di TikTok, Instagram, atau media sosial lainnya.
Kita pun telah melihat mereka sempat tertatih-tatih berkenalan dengan Zoom, Kahoot, Quizizz dan lain sebagainya. Kemudian kita sebagai guru yang masih muda turut serta mebantu mereka.
Kita boleh saja merasa paling mengerti dengan "bahasa" zaman ini, tapi saya kira kita harus tetap hati-hati untuk menyebut diri kita "kreatif". Sebab, jangan-jangan kita baru sekedar adaptif sebagai pengguna mahir aplikasi-aplikasi mutakhir.
Saya khawatir, apa yang sudah kita lakukan di kelas, dengan segala percobaan-percobaan piranti baru justru mempesempit diri kita sebagai guru.
Apakah segala hal yang kita terapkan dengan dalih "kreatif" malah menjauhkan kita dari efektivitas pembelajaran itu sendiri?
Pertanyaan tersebut menyambung pertanyaan di awal tulisan ini. Bahwa efek teknologi yang semulanya solusi lantas kemudian dapat menjelma menjadi masalah.
Pertanyaan tersebut saya rasa sejalan dengan gagasan Daoed Joesoef bahwa masyarakat teknologi berisiko membunuh keberadaannya sendiri. Pertumbuhan teknologi menuntut adanya daya kreatif hingga kebebasan untuk bergagasan. Di lain sisi, sifat dasar organisasi dari pertumbuhan teknologi ini ialah keteraturan dan disiplin yang ketat.
Bukankah keadaan ini akan menjadi bertentangan? Ketika kita harus kreatif di tengah ruang, yang juga mengharuskan kita disiplin dengan regulasi formal tertentu?
Oleh sebab itu, kita harus merumuskan secara mandiri, bagaimana posisi teknologi yang proporsional, terlebih dalam dunia pendidikan formal dengan segala aspirasi ilmunya. Teknologi jangan sampai menjadi kontraproduktif, karena teknologi di kelas pada dasarnnya hanyalah alat, bukan pusat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.