Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Baru-baru ini topik soal pengadaan kereta di Indonesia sedang ramai diperbincangkan. Terkait proses pengadaan kereta ini sering terjadi polemik dan kontroversi.
Polemik yang terjadi terkait pengadaan kereta komuter di Indonesia adalah PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memiliki rencana untuk mengimpor gerbong kereta listrik, namun di sisi lain Kementerian Perindustrian menolah rencana tersebut.
Selain itu, persoalan industri perkeretaapian nasional dalam memproduksi semua kebutuhan kereta di dalam negeri juga menjadi isu yang tak kalah penting.
Ditambah lagi dugaan praktik monopoli dalam pengadaan jasa pengamanan oleh KCI juga berimplikasi pada persaingan sektor transportasi di tanah air.
Maka dari itu, sebenarnya dalam konteks pengadaan kereta di Indonesia, manajemen risiko dapat membantu untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko-risiko yang terkait dengan proyek tersebut.
Lalu, bagaimana manajemen risiko dapat diterapkan dalam pengadaan kereta di Indonesia, termasuk analisis risiko, dan perlakuan risiko yang tepat.
Terkait pengadaan ini, ada beberapa perdebatan, terutama soal penggunaan dana PSO (Public Service Obligation) untuk subsidi operasionalnya.
Selain itu, pengadaan material kelistrikan dan sparepart pendukung fasilitas stasiun juga menjadi perhatian.
Pada konteks pengadaan kereta ini terdapat perbedaan pandangan, memilih kereta baru buatan INKA atau impor kereta bekas dari Jepang.
Mengapa ada opsi mengimpor kereta bekas dari Jepang? Sebab, keputusan impor ini didasarkan pada pertimbangan ekonomis dan operasional. Biaya pengadaan kereta bekas dari Jepang jauh lebih murah jika dibandingan dengan membuat kereta baru.
Sebagian orang mengkritik pemerintah terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung karena biaya tinggi dan ketidakmampuan konsorsium Indonesia untuk membayar modal dasar.
Akan tetapi, pemerintah Indonesia mencoba menekan impor kereta bekas ini dengan membeli 16 unit kereta buatan INKA.
Persoalannya adalah, biaya yang dibutuhkan untuk membeli kereta baru buatan INKA membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada mengimpor kereta bekas dari Jepang.
Alhasil, keputusan akhirnya adalah menyetujui untuk mengimpor kereta bekas dari Jepang.
Meski begitu, keputusan ini tetap menimbulkan perdebatan dan kritik dari beberapa pihak, terutama mengenai risiko kualitas dan keamanan dari penggunaan kereta bekas.