Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Praktik clickbait atau judul konten yang dirancang untuk memancing orang melakukan klik banyak dijumpai pada media saat ini.
Tak hanya media abal-abal, media mainstream pun kini nyatanya ikut dalam arus pemberitaan dengan judul clickbait.
Biasanya konten clickbait sering menggunakan bahasa yang provokatif agar menarik perhatian pembaca, namun terkadang isinya tidak relavan dengan judul.
Dalam buku "Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital", dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, menyebutkan ketika trafik telah menjadi paradigma pemberitaan, tren jurnalisme clickbait pun mengemuka. Media-media siber terdorong untuk lebih mengejar kuantitas berita daripada kualitas.
"Media massa sering memproduksi berita dengan orientasi menghasilkan sebanyak mungkin klik, share, komentar, dan interaksi pembaca di sekitar konten. Upaya mengejar trafik lebih dominan dibandingkan upaya mendiskusikan solusi untuk mengatasi masalah," tulisnya.
Saya akan coba ambil contoh pada salah satu berita di media online akhir pekan lalu, yang mana “Ria Ricis Masuk DPO, Diburu Polisi Karena Diduga Jadi Pemasok Sabu di Tasikmalaya.”
Jika hanya membaca judul, pasti pembaca akan menduga Ria Ricis yang dimaksud adalah artis kondang. Namun setelah dibaca hingga bagian akhir, berita ini mengabarkan penangkapan seorang pengguna narkoba jenis sabu di Tasikmalaya. Setelah diperiksa, pengguna tersebut mendapatkan sabu dari seseorang dengan nama kontak Ria Ricis di ponselnya.
Adapun nama kontak Ria Ricis tersebut diduga merupakan nama samaran di daftar buku kontak ponsel tersangka yang diamankan. Sehingga jelaslah Ria Ricis yang dimaksud di sini bukanlah Ria Ricis yang selebritis.
Memang tidak ada definisi khusus apa itu clickbait. Akan tetapi, Ankesh Anand dalam tulisannya "We Used Neural Networks to Detect Clickbait" menyebut clickbait sebagai istilah yang digunakan pada judul berita, untuk 'menggoda' pembaca.
Ada pula yang mendefinisikan clickbait sebagai istilah bersifat peyoratif, menjadi konten yang ditujukan untuk menghasilkan pendapatan dari setiap suara klik (yang menggambarkan orang menekan tombol pada gawai) oleh pembaca berita.
Dalam pemaknaan ini, berita clickbait menggunakan tulisan tajuk yang sensasional atau foto berita yang menarik rasa penasaran pembaca untuk mengetahui lebih jauh apa isi berita yang disajikan.
Karena itu, Abhijnan Chakrabotty dalam tulisannya "Stop Clickbait: Detecting and Preventing Clickbaits in Online News Media", mengatakan berita clickbait memanfaatkan sisi kognitif manusia, yang disebut curiosity gap, alias keingintahuan (yang besar) terhadap sebuah informasi.
Dalam jagad pemberitaan masa kini, upaya memaksimalkan jumlah keterbacaan tiap artikel berita, menjadi situasi yang dihadapi, termasuk oleh media. Semain banyak yang membaca sebuah artikel, semakin menggelembung pula pageview sebuah media.
Kondisi ini pun kerap diasosiasikan dengan peluang untuk mendapatkan pengiklan. Apalagi sistem iklan yang berkembang saat ini sudah merambah pada layanan AdSense, dimana penerbit berita bisa memperoleh pendapatan dari setiap pembaca yang melihat iklan di berita.
Lantas, apakah salah jika media mainstream saat ini ikut "berenang" dalam arus pemberitaan berbasis clickbait atau adsense? Kalau pertanyaannya pilihan jawabannya salah atau tidak salah, maka tentu jawabannya adalah tidak salah.