Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam memori kita, ada saat di mana pihak tertentu mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp600 triliun untuk dibagikan kepada masyarakat yang terdampak oleh pandemi.
Namun, Kementerian Keuangan dan BI menolak permintaan tersebut. Indonesia memetik pelajaran berharga dari pengalaman masa lalu terkait dengan masalah uang beredar.
Pada dekade 1960-an, pemerintah meluncurkan proyek-proyek yang menghabiskan anggaran besar. Proyek-proyek tersebut termasuk pembangunan fasilitas olahraga seperti yang sekarang dikenal sebagai Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, Hotel Indonesia, dan sebagainya. Tujuan di balik proyek-proyek raksasa itu adalah untuk meningkatkan reputasi bangsa yang baru merdeka di mata dunia.
Pada saat yang hampir bersamaan, Indonesia sedang berjuang untuk mengatasi krisis ekonomi. Untuk menanggulangi inflasi yang meningkat, terutama pada tahun 1957 dan 1958, pemerintah mengambil langkah-langkah moneter yang berani pada tahun 1959. Salah satu langkah yang paling terkenal adalah sanering, yaitu penurunan nilai uang kertas dari Rp500 menjadi Rp50 dan Rp1.000 menjadi Rp100.
Namun, setelah kebijakan itu diambil, jumlah kredit yang diberikan oleh BI dan bank-bank umum justru meningkat. Akibatnya, jumlah uang beredar melonjak lebih dari dua kali lipat.
Kenaikan jumlah uang beredar ini menyebabkan permintaan masyarakat meningkat. Sementara itu, pasokan barang dari dalam negeri dan impor tidak meningkat sebanding.
Dampaknya, terjadi lagi kenaikan harga barang dan biaya hidup lainnya. Tingkat inflasi menjadi tidak terkendali, mencapai 22% pada tahun 1959 dan 38% pada tahun 1960.
Jumlah uang beredar terus meningkat dalam beberapa tahun berikutnya, sebagian besar karena utang pemerintah dan pemberian kredit perbankan.
Utang pemerintah terus meningkat dari tahun 1961 hingga 1966, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1964 dan 1965. Ini menjadi penyebab utama dari hiperinflasi yang mencapai 635% pada tahun 1966.
Menuju akhir era Orde Baru, Indonesia mengalami krisis multidimensi, termasuk di sektor ekonomi.
Kepercayaan masyarakat pada perbankan mencapai titik terendah pada tahun 1998. Hal ini tercermin dari penarikan dana besar-besaran dari bank. Akibatnya, perbankan mengalami kekurangan dana atau likuiditas. Hal ini dipicu oleh penurunan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
BI kemudian mengambil kebijakan penyuntikan dana besar-besaran ke pasar dalam beberapa waktu. Kebijakan ini menyebabkan lonjakan inflasi, mencapai puncaknya sebesar 58%. Namun, ketika pertumbuhan jumlah uang beredar melambat, inflasi juga kembali menurun.
Pengalaman dengan hiperinflasi dan krisis moneter mengajarkan pentingnya pengendalian uang beredar di Indonesia.
Mengendalikan jumlah uang beredar adalah bagian dari kebijakan moneter BI untuk menjaga nilai Rupiah tetap stabil. Stabilitas ini tercermin dari perkembangan harga barang dan jasa yang wajar, yang tercermin dari inflasi yang rendah dan stabil.
Kebijakan moneter lainnya, seperti menjaga nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing tetap stabil, juga diperlukan untuk menjaga inflasi tetap terkendali.