Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Berdasarkan data WHO, orang-orang di berbagai negara dengan tingkat pendapatan beragam yang mengalami depresi seringkali idak terdiagnosis dengan benar.
Bahkan yang disayangkan orang tanpa gangguan depresi sangat sering salah didiagnosis dan diresepkan antidepresan.
Beban depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya meningkat secara global. Resolusi WHO yang disahkan pada Mei 2013 telah menyerukan respons komprehensif dan terkoordinasi terhadap gangguan mental di tingkat negara. Sayangnya tidak semua negara mampu mengejewantahkan resolusi ini .
WHO pernah menyerukan kampanye untuk mengatasi masalah depresi di Hari Kesehatan Sedunia tahun 2017 dengan mengusung tema "Depression: Let's Talk".
Kampanye ini menyerukan kepada semua orang yang merasa memiliki gejala depresi untuk mau membicarakan mengenai masalahnya tersebut.
Dalam kampanye ini juga orang-orang diimbau untuk lebih memahami pasien yang mengalami depresi dan tidak menghakiminya dan memberikan saran terlalu dini bahwa semua kondisi perasaan tersebut pasti akan segera berlalu.
Stigma soal gangguan jiwa terutama depresi masih menjadi masalah di banyak negara termasuk Indonesia. Pasien depresi sering disalahartikan hanya mencari perhatian atau "baperan".
Tentu mencari perhatian atau “baperan” dengan yang benar-benar mengalami depresi adalah dua hal yang sangat berbeda.
Sekali lagi, depresi adalah kondisi medis yang biasanya ditandai oleh kesedihan secara terus-menerus selama lebih dari dua minggu yang tentunya memerlukan bantuan dan pertolongan.
Jika kita lebih sadar dengan keadaan ini tentunya akan jauh lebih baik untuk kita memahami orang yang mengalami depresi.
Sayangnya kita sering kali terlalu mudah menyimpulkan kondisi yang seolah-olah kita pahami tersebut.
Menjadi pendengar yang baik adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Kita cukup mendengar saja. Karena biasanya orang yang mengalami depresi sering kali merasa lebih ringan bebannya hanya dengan bercerita tanpa perlu diberikan nasihat terlalu dini.
Tidak memberikan nasihat yang terlalu cepat atau bahkan bersikap menyalahkan atau menghakimi. Cukup dengarkan saja karena dengan mendengarkan saja itu sudah sangat membantu orang yang mengalami depresi.
Sayangnya, sering kali kita kesulitan menjadi pendengar yang baik dan lebih senang mendengarkan suara kita sendiri.
Sikap yang menghakimi sering kali menghambat proses pengenalan depresi di lingkungan terdekat kita.
Saat orang yang depresi mau bercerita namun mendapatkan tanggapan yang tidak enak, maka dia akan berhenti bercerita dan menyimpan semuanya sendiri sampai akhir hayatnya yang kadang dia jemput sendiri.
Semoga tulisan ini bisa membantu kita sama-sama memahami tentang ancaman depresi. Saya, anda dan kita semua bisa mengalami depresi.
Kenali gejala depresi dan mulailah menjadi pendengar yang baik untuk orang-orang yang membutuhkan kita.
Salam Sehat Jiwa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.