Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Terhadap kedua tetangga ini saya cuma bertanya, kapan terakhir kali mereka bertemu dan bercakap-cakap sebelum bertengkar.
Dan keduanya terdiam, tak bisa menjawab karena memang mereka sangat-sangat jarang berkomunikasi, padahal saling bersebelahan rumah.
Saya pun bertanya kembali kepada mereka, sudah berapa hari raya mereka saling mengunjungi antar tetangga untuk silahturahmi, mereka pun terdiam karena memang tidak pernah sama sekali melakukan itu.
Dari permasalahan tersebut, saya pun mengingatkan mereka untuk menjalin tali silaturahmi terkhusus di hari raya dan mengikuti kerja bakti.
Saya katakan kerja bakti ini bukan saja agar halaman rumah bersih, tetapi ini adalah ajang atau kesempatan bagi kita untuk berkumpul sesama warga, saling interaksi, saling komunikasi, saling berbagi informasi dan saling mengetahui apa yang menjadi persoalan bersama di lingkungan kita.
Dari semua persoalan antar tetangga jika dirunut, maka hampir sebagian besar berakar dari putusnya silahturahmi.
Tetangga yang silahturahminya terjalin baik boleh dikata tidak pernah tersentuh konflik. Jikapun ada, itu akan berakhir dengan sendirinya tanpa perlu campur tangan orang lain.
Silahturahmi adalah kunci dari keharmonisan kehidupan bertetangga.
Sebaik apapun individu, jika tidak pernah bersilahturahmi dengan tetangga, maka pandangan miring pasti akan selalu tertuju.
Tidak mesti harus setiap hari bersilahturahmi dengan tetangga. Mungkin bisa menyempatkan saja waktu untuk menghadiri undangan rapat RT, mengikuti kegiatan kerja bakti, saling mengundang dan menghadiri undangan hajatan tetangga dan yang lebih penting lagi saling mengunjungi saat perayaan hari raya.
Kehidupan bertetangga yang harmonis memang harus diupayakan, apalagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan.
Terkadang kesibukan menjadi faktor yang membuat jalinan silahturahmi dengan tetangga menjadi hal yang seringkali terlupakan.
Membahas etika hidup bertetangga, justru saya sangat tertarik dengan kearifan masyarakat desa tempat asal istri saya, yaitu Sulawesi Tenggara.
Di sana, ada aturan yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat, yaitu "mesumba-sumba" atau saling menyumbang jika ada warga yang mengadakan hajatan perkawinan maupun kematian.
Pada prakteknya, setiap keluarga wajib membawa sumbangan dalam bentuk beras dan uang.
Adapun ukuran beras yang berlaku ialah tiga liter beras (kami masih menggunakan liter untuk ukuran beras bukan kilo).