Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Uniknya, hampir 90% istri yang terintervensi adalah para istri yang sehari-hari berprofesi ibu rumah tangga.
Bukan mendiskritkan ibu rumah tangga, karena nyatanya ibu pekerja kantoran pun tak luput dari intervensi konten di media sosial tersebut.
Fenomena ini mengingatkan kita pada dua teori sosiologi komunikasi, yaitu teori uses and effects dan teori uses and gratifications dalam Burhan Bungin.
Pada teori tersebut disebutkan tentang bagaimana efek media sangat memengaruhi pemikiran dan sikap penggunanya serta tiga faktor utama yang memengaruhi seberapa besar seseorang terintervensi, yaitu jumlah waktu, isi konten media, dan hubungan kepentingan.
Semakin tinggi angka ketiganya, maka akan semakin tinggi juga tingkat pengguna terpengaruh.
Ia akan bermain dengan persepsinya sendiri dan cenderung kurang mengindahkan fakta-fakta logika.
Bisa dimaklumi, jika dari riset saya lebih didominasi ibu rumah tangga yang mudah terintervensi.
Namun, saya tertarik kepada satu orang ibu rumah tangga yang ternyata berada di kubu empat orang yang tidak terintervensi di mana ketiga lainnya adalah ibu pekerja kantoran.
Setelah saya kulik, ternyata sang ibu ini memang sosok yang memiliki prinsip independen. Ia mengaku tidak mau dipusingkan dengan media sosial.
Sama seperti tiga lainnya, ia menganggap media sosial hanya sebatas hiburan, tidak lebih.
Sang ibu juga mengaku tidak tertarik melihat isi HP suaminya atau dalam bahasa kekiniannya tidak kepo.
Baginya, yang penting suami selalu pulang, bertanggung jawab dan tidak pernah kasar. Rumah tangga harus dilandasi kepercayaan, lanjutnya.
Lantas, seberapa mengkhawatirkan intervensi konten terhadap keharmonisan rumah tangga?
Tentu saja jika tidak disikapi dengan bijak akan sangat mengkhawatirkan.
Tidak dapat dipungkiri, derasnya arus teknologi digital semakin menggeser cara pandang seseorang tentang kehidupan.
Pasalnya, tidak semua orang siap untuk menerima gempuran teknologi yang semakin canggih.
Tidak sedikit justru mereka terikut arus dan tergerus oleh zaman. Salah satu yang tidak disadari adalah mereka yang mudah terintervensi oleh konten media sosial.
Mereka bahkan sanggup mengesampingkan akal dan logika karena pengaruh konten yang terus-menerus.
Sudah pasti ini akan menganggu keharmonisan rumah tangga. Masing-masing pasangan akan dihantui oleh ketakutan dan was-was.
Kecurigaan tanpa bukti kerap menjadi awal pertengkaran. Konsep berpikir secara persepsi lebih mendominasi ketimbang realita.