Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Memiliki rumah dan mobil, namun tidak memiliki bagasi merupakan hal lumrah di Indonesia. Tak jarang, fenomena tersebut dapat menyebabkan hidup bertetangga menjadi tidak harmonis dikarenakan pemilik mobil membuat fungsi jalan di kompleks perumahan menjadi terganggu. Padahal, parkir mobil di pinggir jalan tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus mematuhi aturan Perda yang berlaku.
Saya tergelitik untuk membahas aturan parkir mobil di pinggir jalan karena saya pribadi pernah merasakan tinggal di pemukiman padat penduduk dan mengalami hal yang sama.
Pemukiman kami berlokasi di Jalan Rawamangun Muka Selatan, RW 013, Jakarta Timur. Jika Anda mau sedikit rajin untuk melihat di Google Maps, maka akan muncul tampilan ini.
Berbanding terbalik dengan tampilan lapangan golf besar dan (dulu) mewah itu, permukiman di samping lapangan ini bisa dikatakan cukup padat dan (sedikit) kumuh. Jalan yang tersedia hanya bisa dilewati satu kendaraan atau satu arah.
Di dalam permukiman tersebut masih ada beberapa gang-gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan bermotor. Sehingga mobil-mobil milik mereka yang tinggal di dalam gang, ditempatkan di luar gang. Hal tersebut yang seringkali memicu masalah di lingkungan kami.
Mulai tahun 2010, pemilik kendaraan bermotor roda empat di lingkungan itu makin banyak. Sementara jalan depan sudah penuh dengan mobil-mobil pendahulunya. Akhirnya saling adu cepat untuk kembali ke rumah setelah beraktivitas di luar, alasannya hanya satu, agar dapat tempat untuk memarkir mobilnya.
Tapi masalah tidak selesai sampai di sana. Para pemilik rumah yang berada di luar gang merasa keberatan jika ada mobil lain yang diparkir tepat di seberang rumahnya (walaupun menempel di dinding tembok lapangan golf dan bukan tepat di depan pagar rumahnya) padahal tidak semua dari pemilik rumah itu memiliki mobil.
Akhirnya muncul kebiasaan baru, ada yang meletakkan pot-pot besar, tong sampah, atau bahkan kursi semacam bale-bale di jalan umum tersebut supaya tidak ada kendaraan yang diparkir persis di seberang rumah mereka.
Mirisnya, pengurus RT dan RW membiarkan hal ini berlangsung bertahun-tahun. Aduan masyarakat hanya sekadar syarat, tapi sama sekali tidak dicarikan jalan keluar atas masalah yang sangat sering terjadi ini.
Akhirnya beberapa dari para pemilik mobil yang tak punya lahan parkir itu pun menyewa lahan warga yang lebih dekat dengan area gardu PLN untuk memarkir mobil mereka dengan sistem pembayaran per bulan. Namun, itu pun tak cukup menyelesaikan masalah yang ada. Karena lahan yang tersedia tidak bisa meng-cover kebutuhan semua pemilik mobil untuk menyewakan carport.
Jika kita merujuk pada Pasal 671 Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisi:
"Jalan setapak, lorong, atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga, yang digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak, atau dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan, kecuali dengan izin semua yang berkepentingan."
Jelas dari pasal itu kasus di pemukiman tempat tinggal lama saya maka kedua belah pihak bisa dikatakan bersalah. Yaitu pemilik mobil dan pemilik rumah.