Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak beberapa waktu belakangan Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Perlu diketahui, EBT adalah energi yang dihasilkan demgam teknologi baru dan dapat diperbaharui terus-menerus dengan tak terbatas.
Salah satu bentuk EBT adalah energi listrik yang dihasilkan dengan cara baru dan tidak langsung dihasilkan dari fosil. Contoh lain adalah briket arang sebagai bahan bakar pengganti. Briket arang adalah arang yang dibuat dari limbah pertanian yang ramah lingkungan.
Beberapa sumber EBT berasal dari alam namun dapat terbarukan secara terus-menerus seperti angin, air, panas bumi, sinar matahari, bioenergi, dan air laut.
EBT semakin nyaring disuarakan setelah masyarakat dunia menyadari dampak buruk eksploitasi fosil (minyak, gas bumi, dan bahan tambang lainnya) berikut emisi yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil tersebut.
Salah satu kesepakatan dalam konferensi iklim dunia (COP26) di Glasgow, Skotlandia November 2021 lalu adalah mengurangi emisi karbon secara signifikan pada tahun 2030 dan net-zero carbon pada tahun 2050.
Indonesia sendiri menargetkan kondisi net-zero carbon pada tahun 2060. Net-zero carbon atau yang juga dikenal dengan net-zero emission atau karbon netral adalah kondisi saat emisi karbon terserap kembali sehingga tifak menguap ke atmosfer.
Maka dari itu sebenarnya EBT adalah topik yang cukup luas, bukan hanya tentang produksi energi itu sendiri, melainkan juga segala produk yang menyertai penggunaan EBT tersebut.
Indonesia mengatur soal kebijakan energi terbarukan ini dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Undang-Undang ini mengamanatkan pemerintah pusat dan pemerintah darrah untuk meningkatkan penggunaan EBT.
Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014. Pemanfaatan EBT ditargetkan mencapai 23% dari bauran energi primer nasional pada tahun 2025 dan mencapai 31% pada tahun 2050.
Untuk ketenagalistrikan, terdapat Perpres Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Melalui Perpres ini pemerintah pusat dan/atau pemerindah daerah berwenang memberi insentif fiskal, kemudahan perizinan dan nonperizinan, penetapan harga beli tenaga listrik dari masing-masing jenis sumber EBT, pembentukan badan usaha tersendiri dalam rangka penyediaan tenaga listrik untuk dijual ke PT PLN (Persero), dan/atau penyediaan subsidi.
Faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi serta preferensi kebanyakan orang untuk tinggal di kota-kota besar menyebabkan kebutuhan energi listrik di kota juga semakin besar. Pada tahun 2030, diperkirakan sebanyak 63,4 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan (Rizaty, 2021).
Sebanyak 20 kota di Indonesia yang rata-rata berpenduduk di atas 1 juta jiwa dan beberapa di antaranya berpenduduk di atas 2 juta jiwa membuat kebutuhan akan properti, transportasi dan Internet of Things (IoT) ini meningkat.
Seiring perkembangan waktu, kebutuhan tempat tinggal tentu akan semakin tinggi, dan semakin sering ditemui bentuk hunian vertikal. Tidak hanya tempat tinggal, gedung perkantoran pun telah lama menggunakan konsep vertikal.
Kebutuhan akan properti inilah yang akan rentan terhadap gangguan lingkungan dan pemborosan energi. Maka dari itu, ada satu pilihan yang bisa diambil terkait model hunian di masa depan, yaitu green building.
Green building adalah bangunan yang ramah lingkungan, termasuk mengutamakan penggunaan energi terbarukan di dalamnya. Konsep green building ini harus didorong penerapannya di kota-kota besar.