Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertanyaan tentang kapan menikah sering kali menjadi sorotan utama dan selalu paling dihindari oleh mereka yang masih berstatus single. Biasanya pertanyaan-pertanyaan itu muncul saat acara reuni keluarga atau perayaan hari raya besar.
Seringnya, mereka yang menanyakan hal itu hanya dimaksudkan sebagai basa-basi atau bahkan didasarkan rasa penasaran alias kepo. Bagi mereka yang mendapat pertanyaan itu, seringnya hanya menjawab seadanya agar tak timbul pertanyaan lanjutan, seperti: "doakan saja, ya" atau "tunggu saja, kalau bukan hari Sabtu, sudah pasti Minggu."
Tahun 2023, hasil jajak pendapat Litbang Kompas menyatakan bahwa hampir separuh atau sekitar 42,4% (213 orang) dari jumlah responden keseluruhan yang berjumlah 502 orang menyatakan masih berstatus lajang. Dari 213 orang yang berstatus lajang itu, memiliki usia antara 22 hingga 35 tahun atau dengan kata lain termasuk ke dalam golongan usia produktif.
Meski begitu hasil jajak pendapat Litbang Kompas menemukan bahwa para lajang tersebut memiliki keinginan untuk menikah, akan tetapi mereka lebih mengatur soal kapan usia yang pas untuk menikah.
Lantas, mengapa banyak dari mereka yang menunda pernikahan?
Boleh dikatakan bila masyarakat kelompok usia produktif di Indonesia ini didominasi oleh generasi milenial. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi milenial telah mengalami banyak tren perubahan di berbagai sektor seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, hingga politik.
Jika generasi sebelumnya menganggap pernikahan adalah salah satu fase yang sudah layak dan sepantasnya dialami oleh setiap orang yang sudah cukup umur (kecuali mereka yang memutuskan selibat karena agama tertentu), kini generasi milenial lebih banyak memiliki opsi terkait keputusan soal pernikahan.
Belakangan ini negara-negara maju di kawasan Asia seperti Jepang, China, Korea Selatan menunjukkan kekhawatirannya terhadap penurunan laju populasi warganya. Hal ini karena kaum muda yang saat ini mendominasi kelompok usia produktif lebih memilih untuk menunda pernikahan.
Selanjutnya timbul fenomena resesi seks sehingga angka kelahiran pun menurun drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Dan kini tampaknya fenomena menunda pernikahan atau dikenal juga dengan istilah "waithood", juga mulai berkembang di kalangan kaum milenial Indonesia.
Ada banyak faktor yang sekiranya memengaruhi para milenials ini memilih untuk menunda pernikahan. Apa saja faktor-faktor itu?
Generasi milenial memiliki standar tinggi terkait pencapaian pendidikan dan karier. Alih-alih memikirkan pernikahan lebih dulu, mereka cenderung memilih memiliki jaminan lebih baik untuk kehidupannya di masa depan.
Alhasil pilihan untuk terus mengejar pengetahuan dan pengalaman karir sebelum memasuki komitmen pernikahan menjadi pilihan yang semakin umum.
Mereka yang termasuk kelompok milenial ini juga dikenal sebagai generasi sandwich yang berarti mereka "terpaksa" harus menanggung biaya hidup orangtua dan saudara-saudara kandungnya selain juga dirinya sendiri.
Faktor ini akhirnya juga memengaruhi kesiapan mereka untuk menikah. Jika hidup sendiri saja pas-pasan, menambah tanggungan berkeluarga bisa menjadi tantangan yang signifikan.
Faktor-faktor ekonomi, seperti biaya hidup yang tinggi, pendidikan yang mahal, dan harga properti yang semakin tak masuk akal, menjadi kekhawatiran utama. Generasi milenial cenderung mempertimbangkan dampak lingkungan dan ekonomi jangka panjang sebelum memutuskan untuk membentuk keluarga.