Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di hari ke-7 Idulfitri, dapur-dapur di Desa Guyangsari, Kabupaten Semarang kembali semarak. Pasalnya, di hari ini ada satu tradisi yang biasa disebut lebaran ketupat, syawalan, atau kupatan.
Sesuai namanya, pada momen kupatan ini banyak warga kembali memasak dan membuat menu masakan ketupat lengkap dengan lauk berupa sayur opor ayam dan sambal goreng ati. Tak hanya itu, beberapa orang juga memasak sayur tahu, kentang, krecek dengan kuah santan sebagai menu pengganti sambal goreng ati.
Pada momen lebaran ketupat ini, biasanya warga desa sudah mulai memasak ketupat dan berbagai lauk serta sayur pendampingnya sehari sebelumnya, atau pada H+6 Idulfitri. Dengan begitu, ketika tiba H+7 Idulfitri, berbagai menu yang sudah dimasak tadi bisa dibawa oleh warga ke masjid untuk didoakan (slametan) sebelum akhirnya dimakan bersama-sama.
Para warga Desa Guyangsari sekitar pukul setengah 7 pagi sudah berkumpul dengan membawa nampan atau tampah berisi ketupat serta lauk milik masing-masing.
Biasanya satu keluarga akan diwakilkan oleh anggota keluarga laki-laki untuk membawa makanan tersebut ke dalam masjid. Acara slametan ini biasanya dimulai dengan pembacaan tahlil yang dipandu oleh tokoh agama setempat. Setelah itu, sang ustaz akan memberikan ceramah terkait makna dan arti dari lebaran ketupat.
Sebagai catatan, ketupat merupakan kependekan dari istilah bahasa Jawa, yakni ngaku lepat atau bila diartikan ke bahasa Indonesia menjadi “mengakui kesalahan.”
Dengan kata lain, ngaku lepat memiliki makna bahwa kita sebagai manusia di momen Idulfitri mengakui segala kesalahan serta memohon ampunan, terutama pada Allah SWT, kemudian pada keluarga, saudara, teman, serta masyarakat sekitar. Pada waktu inilah kita diingatkan bahwa lebaran Idulfitri adalah momen untuk saling memaafkan.
Selain itu, ketupat yang memiliki ciri khas dibungkus dengan janur ternyata juga memiliki makna tersendiri. Janur yang merupakan daun pohon kelapa dalam bahasa Arab adalah Ja'a a an-nur atau “telah datang cahaya”, sementara masyarakat Jawa mengartikan janur sebagai sejatine nur yang bermakna bahwa manusia kembali suci setelah melaksanakan puasa di bulan Ramadan.
Kemudian, anyaman janur pada ketupat dibentuk segi empat yang menyimbolkan bahwa hidup manusia itu rumit dan penuh lika-liku, sehingga sarat akan kesalahan dan kekhilafan.
Sebagai menu utama pada momen kupatan, ketupat biasanya disajikan dengan lauk berkuah santan, seperti opor ayam. Begitu eratnya kaitan antara ketupat dan opor ayam, di masyarakat Jawa sampat muncul parikan atau pantun bahasa Jawa yang berbunyi, mangan kupat nganggo santen, menawi lepat kulo nyuwun ngapunten.
Kembali ke acara slametan, setelah membaca doa bersama, acara diakhiri dengan makan bersama menu ketupat dan lauk serta sayur pelengkapnya. Para warga saling bertukar lauk dan mencicipi makanan satu sama lain.
Di desa kami, tradisi lebaran ketupat ini masih rutin dilakukan hingga kini. Warga desa masih percaya bahwa makna yang terkandung dalam tradisi kupatan masih relevan dengan zaman sekarang.
Tradisi kupatan ini juga masih rutin dilakukan oleh mayoritas masyarakat Jawa lainnya, seperti Magelang, Kudus, Jepara, Banyuwangi, Pasuruan, Batu, Demak, Madura, Trenggalek, Rembang, Gresik, dan lain-lain.
Konon kabarnya ada juga beberapa daerah di luar Jawa yang melakukan tradisi serupa seperti di Manado, Lombok, dan Gorontalo.
Tradisi lebaran ketupat alias kupatan konon pertama kali dipopulerkan sekitar tahun 1600-an oleh Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Ia adalah salah satu tokoh Walisongo yang turut menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.