Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam setiap unggahannya ia selalu berusaha menciptakan kesan bahwa dirinya adalah orang yang paling teraniaya. Ini bukan komentar saya pribadi saja, namun dari sejumlah teman-teman yang mulai resah dengan aktivitas media sosialnya.
Entah apa sebenarnya yang tengah diincarnya, yang pasti dia marah ketika ada yang memberikan komentar berupa saran jika ada baiknya hal tersebut tidak dibahas di media sosial.
Ia abai bahkan sampai rela unfollow dan memutuskan pertemanan dengan orang yang dianggapnya ingin mengintervensi kehidupan bersosialmedianya.
Akhirnya sejumlah orang mulai menyadari bahwa rekan kami yang satu ini terindikasi masuk dalam kategori Tone Deaf, sebuah istilah yang kini marak di sejumlah sosial media.
Orang dengan tipikal Tone Deaf tak memedulikan pendapat orang-orang sekitarnya tentang dirinya pribadi dan sejumlah aksinya.
Sampai akhirnya saya dan salah seorang teman membicarakan tentang sosok orang itu. Ternyata, ada yang berusaha memahami kondisi psikologi si kawan kami ini.
Menurutnya, rekan kami itu memang pernah curhat bahwa dirinya tertekan dan mengunggahnya di media sosial itu merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari tekanan batin yang sudah dirasakannya bertahun-tahun.
Dan, rekan yang memaklumi adalah orang yang memiliki masalah yang sama dengan orang tersebut.
Sehingga pemakluman itu bukan lagi sekadar pantas atau tidak mengumbar masalah pribadi di media sosial namun lebih ke perasaan senasib sepenanggungan.
Sebenarnya, menilai isi konten seseorang di media sosialnya itu tidak ada pakemnya yang jelas. Mayoritas orang hanya berpikir selagi tidak mengandung SARA atau pornografi dan pornoaksi maka dirinya bebas mengunggah apapun yang dirinya mau termasuk konflik keluarga.
Terlepas dari norma pantas atau tidaknya di mata orang lain, selagi dirinya merasa nyaman, maka ia punya hak untuk mengunggah apapun yang ia mau.
Dalam kasus yang berbeda, sejak media sosial makin beragam jenisnya, kita makin sering menyaksikan banyak kasus yang melibatkan dua kubu yang biasanya perorangan melawan sekelompok orang, baik komunitas/organisasi maupun non organisasi tertentu terkait dengan sikap kurang empati atau kurang peduli terhadap apa yang sedang menjadi kekhawatiran banyak orang.
Pelaku Tone Deaf asik dengan opininya sendiri tanpa mempertimbangkan matang-matang apakah hal tersebut bisa menjadi masalah atau tidak di kemudian hari. Bukan mendulang kepuasan, justru berakhir di laporan kepolisian.
Tapi catatan ini bukan hendak mengatur apa yang pantas dan tak pantas diunggah ke media sosial, namun lebih pada bagaimana cara menanggapi teman dengan kepribadian Tone Deaf ini.
Menurut Merriam-Webster, frasa tone deaf dapat merujuk pada seseorang yang menunjukkan kurangnya persepsi terhadap sentimen atau opini masyarakat. (sumber : RRI.com)