Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sungkowo
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Sungkowo adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Eksistensi Makanan Khas Tiwul yang Ramai di Kota dan Desa

Kompas.com - 19/09/2024, 19:25 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Sembari menikmati tiwul, bincang-bincang terjadi di antara kami. Saya, istri, dan Om penjual. Beberapa hal dalam bincang-bincang sederhana termaksud, saya dapat mencatatnya seperti di atas, juga seperti berikut ini.

Om penjual tiwul mengatakan bahwa asal-muasal berjualan tiwul karena pada saat Covid-19, pada 2019, berjualan degan bakar mengalami surut. Disebutnya, degan bakar pernah mengalami masa-masa gemilang, yaitu pada saat Covid-19 merebak. Karena, oleh masyarakat diyakini bahwa degan bakar dapat menjadi obat. Tapi, lambat laun mulai surut seiring surutnya Covid-19.

Pada saat demikian, Om penjual tiwul berdiskusi dengan istri, yang asli dari Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari diskusi ini, dikatakannya, dalam pikiran istrinya muncul ide berjualan tiwul. Tepat sudah karena istri berasal dari daerah yang terkenal tiwulnya.

Ide ini yang kemudian mampu mengantarkan tiwul sebagai makanan khas desa menuju ke kota. Betapa tidak, Om penjual yang awalnya berjualan di Ambarawa, tempatnya berdomisili, dapat meluas ke daerah lain, yaitu Ungaran dan Salatiga.

Dalam seminggu, ia berjualan di tiga lokasi, yaitu Senin dan Selasa di Ambarawa; Rabu dan Kamis di Ungaran; Jumat, Sabtu, dan Minggu di Salatiga.

Khusus di Salatiga disebutkan bahwa ia dalam sehari, sejak sekitar pukul 08.00 sudah berjualan. Ada sebanyak 80 porsi yang dibawa. Usai berjualan disesuaikan dengan habis atau belumnya porsi tiwul yang dijual.

Tak sama pada setiap harinya. Pada hari tertentu pukul 12.00 WIB, tiwul sudah habis. Berbeda dengan saat kami membeli, waktu itu sudah sekitar pukul 17.00 WIB masih ada enam porsi tiwul yang belum terjual dari 80 porsi.

Tapi, dalam pengakuan Om penjual, kondisi demikian wajar. Kadang ramai kadang agak ramai. Tentang kondisi tak ramai dalam arti tak ada pembeli, tak disinggung. Sebab, diakuinya selama ia berjualan selalu ada yang membeli.

Berjualan tiwul, disebutnya bahannya, yaitu gaplek diambil secara khusus dari Gunung Kidul. Karena, ia harus datang langsung ke lokasi dan memilih gaplek yang baik. Hal ini sudah lima tahun dijalaninya. Tapi, adanya ekspansi berjualan dilakukan secara bertahap. Dari Ambarawa, Ungaran, hingga Salatiga.

Tiwul yang berasal dari desa, terutama desa sentra singkong, kini dapat ditemukan di kota-kota. Tiwul disukai oleh orang-orang yang tinggal di kota.

Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang dulunya tumbuh di desa, tapi saat dewasa bahkan tua hidup di kota. Sehingga, tiwul yang ketika masih berada di desa menjadi kudapan rutin, pada masa dewasa bahkan tua di kota menjadi makanan yang dirindukan.

Apalagi tiwul pada masa kini pun sudah jarang ada sekalipun di desa. Di desa tempat saya sewaktu kecil tinggal, misalnya, yang dulunya mudah didapatkan tiwul, kini tak lagi mudah. Tiwul sudah langka. Tak ada orang yang membuat gaplek.

Tapi, Om penjual masih dapat menemukan gaplek di Gunung Kidul secara mudah dan malah ia dapat memilih kualitas gaplek yang bagus. Ia membeli gaplek datang sendiri ke Gunung Kidul, seperti yang sudah disebutkan di atas, untuk menghindari kualitas gaplek yang buruk.

Gaplek sebagai bahan baku tiwul dan juga gatot yang diusung dari Gunung Kidul, yang (tentu saja) berpusat di desa dan ternyata dirindu oleh orang-orang yang hidup jauh dari desa menunjukkan bahwa tiwul juga gatot merupakan makanan khas desa yang menembus kota.

Saya yakin, hal demikian tak hanya seperti yang saya temukan di Salatiga. Sangat mungkin dapat juga ditemukan di kota-kota lain, baik kota kecil maupun kota besar.

Bahkan, barangkali tak hanya makanan khas desa, yang berupa tiwul dan Gatot. Sangat mungkin juga makanan khas desa jenis yang lain.

Kini, memang, makanan khas desa atau boleh juga disebut makanan tradisional dirindu oleh masyarakat desa yang hidup di kota, atau bahkan masyarakat yang terlahir di kota yang penasaran ingin mencicipinya.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tiwul, Makanan Khas dari Desa ke Kota"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Jadikan Sekolah sebagai Penjaga Bahasa Daerah

Jadikan Sekolah sebagai Penjaga Bahasa Daerah

Kata Netizen
Merasa Kesepian dalam Rumah Tangga, Bisakah Terjadi?

Merasa Kesepian dalam Rumah Tangga, Bisakah Terjadi?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau