Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yulius Roma Patandean
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Yulius Roma Patandean adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Indonesia Bisa Contoh Korea Selatan untuk Atasi Macet

Kompas.com - 22/09/2024, 23:57 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Macet seperti kejadian yang kini umum dirasakan di tiap kota-kota besar di Indonesia. Jika tidak ditangani dengan serius, bukan tidak mungkin akan menjalar ke daerah-daerah lainnya.

Kemacetan kendaraan tidak hanya terjadi di pusat kota, lampu merah, pasar, objek wisata, tetapi juga di SPBU.

Macet bisa terjadi karena sudah dianggap biasa, hari libur, banyaknya volume kendaraan, sempitnya jalanan, tidak adanya angkutan umum resmi alternatif, hingga kelangkaan BBM.

Semakin sering dan tingginya waktu yang habis di kemacetan, sebenarnya memengaruhi lalu lintas perekonomian, kesehatan, produktifitas warga, dan sebagainya.

Terjebak macet hingga berjam-jam tidak akan membawa dampak positif. Bagi pekerja produktif, akan kehilangan banyak waktu.

Belum lagi kondisi emosional yang rawan saat terjebak dalam kemacetan. Boros BBM, kampas kopling, penggunaan AC kendaraan yang masif hingga menuai terjadinya kecelakaan.

Kejadian macet yang terjadi setiap hari semakin lama semakin parah. Meskipun pemerintah sudah menerapkan kebijakan contra flow, buka tutup jalan, ganjil genap, penambahan lebar jalan dan pembangunan jalan tol baru, tetapi kemacetan tetap terjadi. Terutama di akhir pekan dan hari libur, kemacetan parah bisa meningkat hingga 500%.

Adakah solusi tepat yang bisa diterapkan di Indonesia agar bisa mengurangi kemacetan ini? 

Saat ini saya tinggal di Kota Jeju, Korea Selatan. Terkait kemacetan lalu lintas, aya tidak pernah menemukannya. Jika dilihat dari volume kendaraan, khususnya mobil, sangat padat di kota Jeju, bahkan di wilayah Korea Selatan lainnya. Lalu, mengapa tidak ada kemacetan. 

Barangkali pemerintah Indonesia perlu mengadopsi beberapa metode yang diberlakukan di Korea Selatan.

Pemanfaatan Bus Kota

Alternatif pertama mengurangi kemacetan adalah manfaatkan bus kota yang mana halte busnya tersedia pada radius yang tidak terlalu jauh.

Contoh sederhana penerapan TransJakarta. Penerapan bus kota disandingkan dengan ajakan berjalan kaki bagi warga.

Pada sisi lain, tentu perlu ada kesediaan warga untuk mulai meninggalkan pemakaian kendaraan pribadi, secara khusus motor.

Di Korea Selatan, jarang sekali saya temui warga yang menggunakan sepeda motor untuk fasilitas kebutuhan pribadi. Motor justru hanya dimanfaatkan sebagai fasilitas mengantar paket kiriman. 

Bus yang beroperasi di kota Jeju, misalnya, dilengkapi tulisan jalur trayeknya. Setiap bus memiliki nomor digital.

Nomor tersebut merujuk pada arah trayek yang telah ditentukan. Setiap 5 menit, bus akan lewat di halte-halte bus. Ada penumpang turun atau naik, bus tetap berhenti.

Mobil Ramah Lingkungan

Eco bus atau electric bus mendominasi angkutan umum di Korea Selatan. Jadi, bahan bakar bukan solar lagi. Demikian pula dengan kendaraan pribadi. 

Sebagian besar sudah bermigrasi ke hybrid dan listrik. Inilah salah satu penyumbang tidak adanya kemacetan di SPBU Korea Selatan. Polusi udara pun terjaga. Sehingga ketika jalan kaki, warga tidak ngos-ngosan.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau