Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kondisi ini diperparah oleh minimnya literasi korban tentang dunia teknologi digital dan keuangan.
Masyarakat umum yang menjadi korban seringkali tidak menyadari betapa berharganya data pribadi mereka, seperti nomor telepon dan informasi pada KTP.
Akibatnya, mereka abai dalam melindungi data-data tersebut, atau tidak tahu bagaimana cara melindunginya.
Soceng dalam sektor jasa keuangan memiliki dua tujuan spesifik: mencuri atau melakukan sabotase. Bentuk-bentuk Soceng cukup beragam.
Baiting, misalnya, menggunakan umpan berupa janji palsu untuk memancing rasa keingintahuan atau keserakahan korban. Pelaku memikat korban untuk masuk ke dalam perangkap dan mencuri informasi pribadi atau menyerang perangkat korban dengan malware.
Pretexting adalah modus ketika pelaku mengelabui korban dengan rangkaian kebohongan yang cerdik.
Mereka berpura-pura membutuhkan informasi sensitif dengan dalih untuk kepentingan korban.
Phising adalah modus yang paling sering digunakan dan paling berbahaya. Pelaku mengirimkan pesan yang menciptakan kondisi urgensi atau ancaman agar korban mengungkapkan informasi sensitif atau mengklik tautan/lampiran berbahaya.
Sebenarnya masih banyak bentuk Soceng lainnya, namun ketiga modus di atas adalah yang paling sering ditemukan dalam kejahatan keuangan. Untuk memahami lebih jauh tentang praktik social engineering,
Penting untuk diingat bahwa pihak bank atau lembaga keuangan resmi tidak pernah meminta nasabah untuk memberikan nomor OTP dengan alasan apapun. OTP (one time password) adalah kode unik yang dikirimkan untuk mengamankan transaksi online.
Ibarat kunci gembok, OTP melindungi rekening dari akses yang tidak sah. Jika OTP diberikan kepada orang lain, rekening rentan dibobol melalui transfer ilegal, penarikan tunai, dan bahkan penggantian password.
Sayangnya, banyak nasabah yang panik dan tertipu sehingga memberikan OTP kepada pelaku kejahatan. Minimnya pengetahuan tentang perbankan dan teknologi digital membuat mereka mudah termakan manipulasi.
OTP ini merupakan pintu tergembok terakhir saat transaksi secara online akan dilakukan, begitu gemboknya (OTP) itu terbuka siapapun bisa dengan bebas melakukan apapun terhadap rekening tersebut, termasuk melakukan transfer, penarikan uang, bahkan mengganti password permanennya.
Tetapi ya itu tadi, karena panik termakan manipulasi sang pelaku kejahatan pengguna modus Soceng, ditambah dengan minimnya literasi keuangan dan teknologi digital, nasabah kerap dengan mudah memberikan data pribadi termasuk kunci gemboknya berupa OTP tadi, akibatnya uang kemudian berpindah tangan dan raib.
Agar terhindar dari praktik manipulasi social engineering (Soceng), kita perlu meningkatkan kewaspadaan, karena Soceng tidak hanya menyasar sektor perbankan, tetapi juga bidang lainnya.