Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Junjung Widagdo
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Junjung Widagdo adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Jadikan Sekolah sebagai Penjaga Bahasa Daerah

Kompas.com - 31/10/2024, 09:45 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Salah satu faktor utama dalam pelestarian bahasa daerah adalah membiasakan diri untuk bertutur dalam bahasa tersebut sehari-hari. 

Menjadikan bahasa daerah sebagai bagian dari kebiasaan tentu menjadi tantangan, terutama di tengah arus modernisasi yang semakin kuat. 

Saat ini, sangat sedikit anak-anak yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.

Mungkin di beberapa pelosok, masih ada anak-anak yang bertutur dengan bahasa ibu mereka, tetapi di sekolah-sekolah di kota besar, fenomena ini sudah sangat jarang ditemui.

Padahal, manfaat bertutur dalam bahasa daerah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Bahasa daerah merupakan identitas budaya yang mengandung norma-norma kebaikan dalam interaksi sosial. 

Dalam falsafah Jawa, misalnya, ada konsep "Njawani" yang mengajak masyarakat untuk kembali kepada adat dan budaya Jawa. 

Konsep ini menekankan pentingnya menjaga tindak tanduk dan perilaku demi harmonisasi hubungan dengan sesama dan alam. 

Kompas pernah menyoroti istilah ini pada tahun 2012, saat Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Adipati Jaya Negara mengingatkan orang Jawa untuk "kembali njawani" dalam peringatan 1 Sura di Sekatul, Limbangan, Kabupaten Kendal. 

Beliau mengajak masyarakat untuk mawas diri atau hangrasa wani, yaitu mengedepankan hati dalam berpikir dan bertindak baik. 

Dalam konteks ini, bahasa Jawa berfungsi sebagai medium utama untuk mengekspresikan "njawani," menjadi alat yang mengharmonisasikan interaksi dalam keseharian.

Kekesalan sering kali muncul ketika tema atau tagline suatu kegiatan justru menggunakan bahasa asing. Alasan yang sering dikemukakan adalah, “Lebih keren pakai bahasa Inggris, Pak!” 

Bahkan, menggunakan bahasa Indonesia pun sering kali dianggap kurang bergengsi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pembiasaan dalam menggunakan bahasa daerah perlu didorong lebih intensif. 

Dalam ungkapan Jawa, ada istilah "witing tresno jalaran soko kulino," atau "jalaran kulino dadi tresno," yang berarti cinta tumbuh karena terbiasa. 

Ini sejalan dengan pepatah dalam bahasa Indonesia, "alah bisa karena biasa." Pada intinya, kunci untuk menjaga bahasa daerah tetap hidup adalah melalui pembiasaan.

Oleh karena itu, perlu ada usaha bersama untuk menciptakan lingkungan di mana penggunaan bahasa daerah menjadi hal yang biasa, baik di rumah maupun di sekolah. 

Melalui program-program pendidikan yang memfasilitasi pembelajaran bahasa daerah dan mendorong siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa tersebut, kita bisa berharap bahwa generasi mendatang akan lebih menghargai dan memelihara warisan budaya mereka. 

Mari kita kembalikan kebanggaan terhadap bahasa daerah kita, karena melalui pembiasaan yang baik, kita bukan hanya menjaga bahasa, tetapi juga memperkuat identitas budaya kita sebagai bangsa.

Merancang Pelestarian Bahasa Daerah di Sekolah

Sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk merancang berbagai kegiatan yang mengintegrasikan literasi bahasa daerah. 

Jika program P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) masih berlanjut, ini bisa menjadi media yang sangat tepat untuk pelestarian bahasa daerah. 

Dengan pelaksanaan yang dirancang dua kali dalam satu semester, kegiatan P5 menawarkan ruang dan waktu yang luas untuk memperkenalkan serta menggunakan bahasa daerah secara intensif. 

Misalnya, sekolah dapat mewajibkan seluruh warga sekolah, baik siswa, guru, maupun staf untuk menggunakan bahasa daerah selama kegiatan P5 berlangsung.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Cara Gen Z Menentukan Karier, Passion atau Gaji?

Cara Gen Z Menentukan Karier, Passion atau Gaji?

Kata Netizen
Anak Mental Strawberry Generation, Apakah Karena Terlalu Dimanjakan?

Anak Mental Strawberry Generation, Apakah Karena Terlalu Dimanjakan?

Kata Netizen
Adakah Cara agar Melangsungkan Pernikahan Tanpa Utang?

Adakah Cara agar Melangsungkan Pernikahan Tanpa Utang?

Kata Netizen
Apa Jadinya Jika Kantin Sekolah Dikenakan Pajak Retribusi?

Apa Jadinya Jika Kantin Sekolah Dikenakan Pajak Retribusi?

Kata Netizen
Apakah 'Job Fair' Masih Jadi Pilihan Cari Kerja?

Apakah "Job Fair" Masih Jadi Pilihan Cari Kerja?

Kata Netizen
Membedakan Respon Patuhnya Anak, Sayang atau Takut?

Membedakan Respon Patuhnya Anak, Sayang atau Takut?

Kata Netizen
Talenan Plastik, Talenan Kayu, dan Keamanan Pangan

Talenan Plastik, Talenan Kayu, dan Keamanan Pangan

Kata Netizen
Apa Beda antara Kategori Buku dan Genre Buku?

Apa Beda antara Kategori Buku dan Genre Buku?

Kata Netizen
Sekolah Menghadapi Sampah Makan Siang Gratis

Sekolah Menghadapi Sampah Makan Siang Gratis

Kata Netizen
Pertumbuhan Ekonomi, PPN 12 Persen, dan Frugal Living

Pertumbuhan Ekonomi, PPN 12 Persen, dan Frugal Living

Kata Netizen
Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau