Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kegiatan ini bisa dikemas dalam berbagai bentuk lomba yang berfokus pada bahasa daerah, seperti lomba pantun, puisi, esai, jurnalistik, atau film pendek yang mengangkat tema lokal dengan menggunakan bahasa ibu masing-masing.
Selain itu, upacara bendera juga bisa dilaksanakan dalam bahasa daerah, tidak hanya sebagai bentuk pembiasaan tetapi juga untuk menunjukkan komitmen sekolah dalam menjaga dan merayakan kekayaan bahasa lokal.
Melalui hal ini, siswa akan merasakan kedekatan dengan budaya mereka sendiri, sehingga menumbuhkan rasa bangga dan identitas yang kuat.
Sekolah juga dapat mempertimbangkan untuk membuka ekstrakurikuler khusus untuk bahasa daerah, di mana siswa dapat belajar lebih dalam tentang budaya dan bahasa mereka.
Tentu saja, persiapan yang matang sangat diperlukan, termasuk ketersediaan guru yang kompeten dalam mengajar bahasa daerah dan rencana tindak lanjut dari kegiatan ekstrakurikuler ini untuk memastikan keberlanjutannya.
Pada akhirnya, sekolah seharusnya tidak kehabisan akal dalam melestarikan bahasa daerah.
Ketika merancang dan melaksanakan program-program yang inovatif dan menarik, sekolah tidak hanya berperan sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dalam menjaga warisan budaya bangsa.
Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan bahasa daerah dapat terus hidup dan berkembang di tengah arus globalisasi yang semakin deras.
Wasana Kata
Karena tidak terbiasa, akhirnya timbul rasa malu. Karena malu, timbul rasa enggan untuk bertutur. Dan karena tidak bertutur, akhirnya bahasa itu punah. Begitulah kira-kira proses punahnya bahasa daerah yang kita saksikan saat ini.
Sebagai masyarakat, kita perlu menyadari bahwa pelestarian bahasa daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga proyek bersama yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ini perlu menjadi program berkelanjutan yang diperhatikan setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan.
Sebab, bahasa adalah identitas budaya kita yang mengandung berbagai norma moral dan kearifan lokal yang berharga.
Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa terdapat kata ganti njenengan, sampeyan, dan kowe, yang semuanya berarti "kamu" dalam bahasa Indonesia.
Namun, masing-masing kata tersebut memiliki tingkatan penghormatan yang berbeda. Njenengan digunakan untuk orang yang sangat dihormati, sampeyan untuk seseorang yang setara dan patut dihormati, dan kowe untuk orang yang akrab atau lebih muda.
Penggunaan bahasa daerah seperti ini bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk menunjukkan rasa hormat, menjaga hubungan, dan memelihara harmonisasi dalam kehidupan sosial.
Dengan memahami dan menggunakan bahasa daerah, kita tidak hanya merawat warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penghormatan dalam interaksi sehari-hari.
Ketika bahasa daerah mulai hilang, potensi degradasi moral dan nilai-nilai budaya ikut terancam. Bahasa memiliki kekuatan untuk memanusiakan manusia, mengajarkan kita untuk menghargai yang lebih tua, menghormati yang setara, dan menyayangi yang lebih muda.
Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, bagaimana jika bahasa daerah benar-benar punah?
Apakah kita siap kehilangan identitas sekaligus kearifan yang sangat berharga bagi generasi mendatang?
Sekolah memiliki peran penting dalam memastikan bahasa dan nilai budaya ini tetap hidup dan diwariskan, sebagai penjaga bahasa daerah.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sekolah Sang Penjaga Bahasa Daerah"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.