Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Wacana aturan terkait kebijakan retribusi kantin sekolah menjadi topik hangat terutama karena melibatkan banyak pihak.
Para pedagang kantin tampaknya tidak sepenuhnya keberatan. Mereka mendukung asalkan besaran retribusi tetap terjangkau dan masuk akal.
Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah minimnya pengawasan terhadap kantin sekolah selama ini. Padahal, kesehatan siswa sangat bergantung pada kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi di sekolah.
Siapa yang tidak mengenal minuman sachet warna-warni dengan rasa manis yang menggoda. Meski tampak biasa, minuman tersebut dapat menyimpan bahaya tersembunyi. Kandungan pemanis buatan dan pewarna sintetis seringkali melebihi ambang batas aman untuk dapat dikonsumsi siswa.
Kabar mengenai anak-anak sekolah yang harus rutin melakukan cuci darah karena gangguan ginjal semakin sering terdengar.
Fenomena ini seolah menjadi alarm keras yang menyerukan pentingnya pengawasan terhadap makanan dan minuman yang masuk ke mulut anak termasuk berupa jajan yang dibeli di sekolah maupun di luar sekolah.
Retribusi tanpa pengawasan ibarat dua sisi yang tak seimbang. Mengutamakan "pendapatan" tanpa memperhatikan kesehatan siswa bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.
Orangtua memainkan peran penting dalam menentukan apakah anak-anak mereka boleh membeli makanan di kantin. Jika pengawasan ketat diterapkan maka orangtua akan merasa lebih aman dan percaya terhadap kantin sekolah.
Bayangkan jika setiap kantin sekolah menjual makanan sehat yang terstandar. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan siswa tetapi juga pada citra positif lembaga pendidikan yang peduli terhadap generasi muda.
Pemerintah memiliki peluang untuk menerapkan kebijakan retribusi ini sejalan dengan kebijakan berbasis kesehatan. Dengan mengintegrasikan pengawasan ketat dan tegas maka tujuan finansial dan kesehatan dapat berjalan seimbang.
Kantin sekolah juga bisa menjadi sarana edukasi. Dengan menjual makanan sehat dan bergizi maka siswa diajarkan sejak dini untuk memilih asupan yang baik bagi tubuh mereka.
Ketika orangtua melarang anak-anak mereka jajan di kantin karena ragu terhadap jaminan kesehatan maka dampaknya langsung dirasakan pedagang kantin. Penurunan omset tentu berimbas pada kesulitan membayar retribusi.
Masalah kantin sekolah harus diselesaikan dengan melibatkan berbagai pihak dalam pengawasan kantin. Misalnya, audit berkala oleh lembaga terkait.
Sekolah dan pemerintah harus berjalan beriringan. Pemerintah menetapkan aturan dan sekolah bertanggung jawab memastikan aturan tersebut dijalankan di lapangan dengan baik.
Alih-alih hanya menjadi objek retribusi maka pedagang kantin seharusnya dianggap sebagai mitra strategis dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat.