Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pendidikan harus terus berkembang bukan sekadar berputar dalam siklus ujian yang sama dengan nama yang berbeda. Jika TKA ingin menjadi solusi maka kebijakan yang mengiringinya harus jelas, transparan, dan berpihak pada perkembangan siswa secara nyata.
Jangan sampai, kita kembali ke titik awal dengan sekadar mengganti nama tanpa perubahan yang berarti.
Menghidupkan Kembali Semangat Belajar di Era TKA
Sejak dihapuskannya Ujian Nasional (UN), gairah belajar siswa mengalami pasang surut. Tanpa standar evaluasi yang ketat sebagian siswa mulai kehilangan minat untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Mereka tahu bahwa kelulusan tetap akan diberikan, nilai bisa disesuaikan, dan pada akhirnya semua akan lulus tanpa perlu bersusah payah.
Pola pikir seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi bom waktu bagi kualitas pendidikan Indonesia. Ketidakjelasan standar kelulusan di masa pasca-UN membuat sebagian besar siswa cenderung abai terhadap proses belajar.
Kini, dengan hadirnya Tes Kompetensi Akademik (TKA) ada secercah harapan untuk mengembalikan motivasi belajar yang sempat meredup.
TKA bukan sekadar ujian melainkan pemacu semangat. Dengan adanya TKA siswa kembali memiliki target yang jelas. Mereka akan ditantang untuk memahami materi dengan lebih baik.
Agar TKA benar-benar efektif dalam meningkatkan motivasi belajar maka sistemnya harus dirancang dengan matang. Jika hanya menjadi formalitas maka dampaknya tidak akan jauh berbeda dari kondisi sebelumnya.
Pemerintah dan satuan pendidikan perlu memastikan bahwa TKA tidak hanya hadir sebagai ujian semata tetapi juga sebagai alat ukur yang relevan dalam menilai kesiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Tantangan Pemerataan Kualitas Pengajaran
Di atas kertas, TKA tampak seperti solusi untuk mengukur kemampuan akademik siswa secara lebih objektif.
Namun, bagaimana memastikan bahwa semua siswa, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk memahami dan mengerjakan soal?
Kenyataannya, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata merata. Ada sekolah dengan fasilitas lengkap dan guru berkualifikasi baik. tetapi ada pula sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang masih bergulat dengan keterbatasan sumber daya.
Ketimpangan ini membuat persiapan menghadapi TKA menjadi beban yang tidak seimbang bagi sekolah-sekolah dengan keterbatasan. Guru di daerah perkotaan mungkin memiliki akses ke berbagai sumber pembelajaran.