Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebenarnya apa yang bisa dipelajari dari siswa ketika sekolah membuka pembayaran zakat?
Beras zakat di sekolah tempat saya mengajar dikumpulkan dari siswa. Siswa yang beragama Islam. Selain beras, ada juga siswa yang mengumpulkan zakat berupa uang. Uang yang senilai dengan harga beras zakat.
Jumlah siswa yang berzakat beras lebih banyak ketimbang jumlah siswa yang berzakat dengan uang. Zakat yang berupa uang dibelanjakan beras.
Pengelolaan zakat dilakukan oleh pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Artinya, pengumpulan hingga pembagian zakat, pengurus OSIS ambil peran. Tetapi, mereka ada dalam bimbingan Pembina OSIS.
Beras zakat yang sudah terkumpul, selain diberikan kepada penerima di panti asuhan, juga diberikan kepada siswa yang dipandang berhak menerima. Siswa yang dipandang berhak menerima zakat ditentukan oleh wali kelas.
Jumlah siswa penerima zakat di setiap kelas tak sama. Ada yang jumlahnya sedikit; ada yang jumlahnya banyak. Tetapi, tentu saja jumlah keseluruhan siswa yang berhak menerima zakat tak seberapa kalau dibandingkan dengan jumlah siswa yang tak berhak menerima zakat.
Hanya, umumnya, siswa yang berhak menerima zakat merasa malu saat zakat diterimakan. Baik siswa putri maupun putra.
Perasaan malu ini bisa saja disebabkan oleh adanya persepsi di dalam masyarakat bahwa yang namanya "penerima" berbeda dengan "pemberi" dalam skema bawah-atas.
Penerima dipersepsikan berada di posisi bawah. Sedangkan, pemberi dipersepsikan berada di posisi atas. Siswa yang belum mendalam pengetahuan dan pengalamannya, terbawa dalam persepsi seperti ini.
Sehingga, seperti sudah disebut di atas, banyak dijumpai siswa malu menerima zakat. Malu karena dilihat, terutama, oleh siswa yang lain, yang tak berhak menerima zakat.
Sekalipun siswa yang tak berhak menerima zakat, yang notabene teman-temannya sendiri, tak ada satu pun yang mempermalukan. Mereka dalam relasi yang baik-baik saja. Bermain, belajar, berdiskusi, dan bercengkerama tetap bersama. Mereka berteman.
Untuk mau menerima zakat, mereka harus diberi motivasi dahulu oleh guru. Sekalipun mereka memang termasuk yang berhak menerima zakat.
Realitas ini terjadi terus. Setiap tahun, saat pembagian zakat di sekolah, selalu ada siswa yang malu menerima zakat. Dan, ternyata perilaku ini bersifat memengaruhi.
Artinya, kalau dalam satu kelas ada satu saja siswa yang malu menerima zakat, siswa yang lain dalam satu kelas ini, cenderung terpengaruh.
Oleh karena itu, sekolah perlu berupaya mengubah persepsi tentang penerima (zakat)-pemberi (zakat) yang diskemakan bawah-atas tersebut. Agar, siswa menghapus persepsi seperti ini dari pikiran dan benak mereka.