Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam praktik produksi, sekalipun beberapa tim kreatif mampu menginterpretasikan satu visi, masih akan ada risiko tinggi ketidakkonsistenan estetika.
Hal ini sering kali mengakibatkan perbedaan visual antara adegan yang diproduksi oleh tim-tim dari studio-studio yang berbeda-beda.
Masalah ini biasanya berasal dari dokumen arahan seni (Art Directing) yang tidak jelas atau referensi visual yang tidak memadai yang dibagikan antar tim.
Oleh karenanya, pihak rumah produksi, publisher, atau studio utama yang menjadi pemangku utama dalam manajemen proyek perlu membuat sebuah dokumen visual art yang disepakati semua pihak untuk mencegah kendala pada saat pembuatan aset sebelum film animasi diproduksi.
4. Ketidakcocokan Alat dan Software Antar Studio
Fakta lapangan yang sering terjadi adalah tidak semua studio menggunakan alat 3D yang sama maupun mengoperasikan dengan cara yang sama.
Beberapa studio mungkin lebih suka pada Blender, sementara yang lain mungkin menggunakan Maya, Houdini, atau alat 3D yang dikustomisasi menjadi milik sendiri.
Tanpa adanya praktik ekspor-impor file yang terstandarisasi atau bagaimana pembuatan jembatan jalur produksi (seperti misal file format USD atau Alembic), maka pertukaran aset dapat menjadi sesuatu yang bermasalah, yang sering kali menyebabkan hilangnya data atau kesalahan konversi dan tidak sesuai dengan aset aslinya.
5. Sistem Transfer dan Penyimpanan Data yang Tidak Efisien
Proyek animasi menghasilkan data dalam jumlah besar yang disusun dari tekstur beresolusi tinggi, cache simulasi, dan pratinjau (preview) video. Jika suatu studio tidak memiliki sistem penyimpanan terpusat dan terukur, pertukaran aset ini dapat memakan waktu.
Penundaan waktu transfer, kerusakan data, atau bahkan kehilangan aset bukanlah hal yang jarang terjadi, terutama di wilayah dengan infrastruktur internet yang tidak stabil. Oleh karenanya perlu ada kesepakatan mengenai bagaimana file disimpan dan ditransfer.
6. Alat Manajemen Proyek yang Seringkali Terfragmentasi
Para kolaborator proyek sangat mungkin menggunakan platform yang berbeda-beda untuk mengelola alur kerja masing-masing, mulai dari Shotgrid, Trello, Asana, Notion, dll.
Pendekatan yang mandiri per studio ini dapat menyebabkan kebingungan tentang tenggat waktu, sistem pembagian serta kepemilikan tugas, dan kemajuan proyek.
Kurangnya integrasi antara sistem ini dapat menyebabkan progress yang terduplikasi atau berulang secara tidak perlu maupun tenggat waktu yang terlewat. Hal ini dapat merugikan satu atau seluruh pihak dalam kolaborasi.
7. Bottleneck dari Komunikasi Umpan Balik
Tanpa sistem peninjauan terstruktur maupun operator administrasi yang mencatat proses, setiap komunikasi umpan balik cenderung dapat disampaikan secara informal (melalui chat aplikasi obrolan/media sosial pembawa pesan, rangkaian email yang tak berantai di seluruh pemangku kepentingan, atau panggilan telepon yang tak terekam) yang seringkali dapat disepelekan oleh pihak-pihak yang terlibat.
Hal ini menciptakan kesenjangan dalam komunikasi, revisi yang disalahpahami, dan kesulitan dalam melacak keputusan mana yang sungguh dapat diambil, yang pada akhirnya menunda jadwal proyek dan merusak kendali mutu dari proyek.
Oleh karenanya, setiap percakapan bahkan itu dalam jalur informal, apabila itu melibatkan sebuah keputusan, harus ditegaskan untuk tetap tercatat oleh semua pihak agar tidak berlalu begitu saja.
8. Masalah Hukum dan Keamanan Hak Kekayaan Intelektual
Dalam lingkungan studio yang memiliki jalur distribusi, adanya data sensitif dan kekayaan intelektual tentu akan diteruskan melalui berbagai jaringan.
Tanpa sebuah sistem protokol yang kuat untuk enkripsi data, kontrol akses, dan Perjanjian Kerahasiaan (NDA/Non-Disclosure Agreement), suatu proyek mungkin rentan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan—yang menambah risiko pada rantai pasokan kreatif.
Hal semacam ini perlu diantisipasi pemangku proyek terlebih apabila melibatkan rotasi studio yang begitu sering.
9. Standar Kualitas yang Tidak Selaras
Studio sering kali berbeda dalam mendefinisikan "selesai"-nya sebuah tahap proses. Apa yang lolos pemeriksaan kualitas (quality control) di satu studio mungkin dapat ditolak di studio lain.
Masalah ini diperburuk ketika proses kontrol kualitas tidak diselaraskan di antara mitra studio. Dengan menetapkan tolok ukur universal untuk kualitas animasi yang hendak dituju sangat penting untuk menjaga konsistensi merek dan visual terlebih apabila dipegang berbagai studio.
10. Hambatan Bahasa dan Budaya