Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Indonesia saat ini tengah menyambut hangat film animasi "Jumbo". Film yang digarap selama lima tahun dengan arahan sutradara Ryan Adriandhy dan kolaborasi Visinema Studios dengan Springboard, Anami Films, serta Unikom.
Apalagi pad proyek ini diketahui menggandeng hingga kurang lebih 400 pekerja kreatif yang termasuk di dalamnya musisi, visual artist, animator, penulis naskah, maupun technical engineer.
Film tersebut diketahui meraup rekor hingga tembus dua juta penonton pada hari kesebelas pemutarannya.
Ryan Adriandhy sendiri mengakui bahwa penyusunan film ini seperti menyusun “kue lapis” dengan bertahap, penuh kesabaran, dan memerlukan perhatian terhadap setiap detail.
Dalam pembuatannya, ia mengakui bahwa produksi animasi jauh lebih rumit dibanding film live action karena membutuhkan gambar demi gambar untuk menghasilkan gerakan halus.
Proses ini melibatkan berbagai tahap mulai dari pembuatan sketsa, desain dunia, hingga pewarnaan dan pengisian suara. Apabila eksekusi satu tahap saja tidak berjalan mulus, film ini tentunya akan memiliki kecacatan di sana-sini.
Berdasarkan apa yang dialami film Jumbo, kondisi ini menyiratkan bahwa sebuah proyek animasi kolaboratif dapat sering kali melibatkan alih daya maupun produksi bersama dari sebagian karya ke studio lain, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam sebuah proyek level internasional terkadang terjadi kolaborasi studio lintas negara atau benua.
Meskipun pendekatan ini mampu meningkatkan skalabilitas produksi film animasi dan memanfaatkan berbagai kumpulan bakat yang tersebar secara global, pendekatan kolaboratif ini juga menimbulkan kompleksitas dalam koordinasi.
Adanya sistem rantai pasokan (supply chain), dalam hal ini, menjadi sistem penting yang harus dikelola secara aktif untuk memastikan penyerahan aset yang lancar, kualitas yang konsisten, dan pengiriman produk secara tepat waktu.
Dalam konteks bisnis tradisional, istilah "rantai pasokan" (supply chain) biasanya memunculkan gambaran tentang barang fisik—bahan mentah, komoditas, gudang, armada logistik, dan pengiriman hingga tahap eceran.
Namun, di era digital, konsep supply chain telah berkembang.Bahkan di sektor yang murni kreatif seperti animasi, di mana produknya tidak berwujud dan "bahan mentahnya" adalah bakat dan data, sistem rantai pasokan tetap ada—meskipun sistem ini beroperasi dalam bentuk virtual yang lebih abstrak.
Pada film animasi, supply chain mengacu pada proses tingkat makro yang melibatkan bagaimana pergerakan tugas masing-masing divisi, aset, dan informasi di berbagai unit atau organisasi yang terlibat dalam produksi animasi dengan koridor berusaha memahami kebutuhan audiens dan membantu menciptakan budaya yang tepat sehingga daya tarik audiens dan orientasi tujuan program dapat tercapai.
Supply chain ini di satu sisi mencakup tahapan proses produksi internal (pergerakan produk) seperti pengembangan konsep, pembuatan storyboard, modeling, layouting, animasi, pencahayaan, editing, dan pascaproduksi.
Namun, di sisi lain juga melibatkan proses eksternal berupa aliran fisik produk atau layanan dari hulu ke hilir dan aliran informasi dari hilir ke hulu baik informasi tentang produk maupun pasar (kebiasaan, minat, daya tarik, tren, hingga perilaku).
Setiap tahapan ini dapat melibatkan departemen, tim, atau—terutama dalam proyek berskala besar—studio yang sama sekali berbeda masing-masing. Ketika proses ini didistribusikan ke banyak pihak, bagaimana pengelolaan aliran tugas, aset animasi, bahkan umpan balik dari pengerjaannya menjadi bentuk logistik digital.
Dengan membayangkan pada ekosistem kolaborasi film "Jumbo" yang digodok begitu lama, dapat terbayang bagaimana sistem supply chain yang kuat perlu terbangun agar sebuah film animasi dapat berhasil.
Adapun beberapa tantangan yang dapat secara potensial terjadi dalam masalah supply chain ini adalah sebagai berikut:
1. Masalah Bagaimana Mengontrol Versi Aset Terbaru
Salah satu masalah paling umum dalam alur kerja pipeline animasi kolaboratif adalah versi aset.
Ketika beberapa studio menangani model, rig, atau tekstur yang sama, sangatlah penting dimana kita perlu memastikan semua orang menggunakan versi aset terbaru dan telah benar-benar disepakati.
Tanpa sistem kontrol versi aset yang tepat, file dapat terfragmentasi, tertimpa, atau bahkan hilang, yang menyebabkan pengerjaan ulang yang mahal dan penundaan waktu yang lebih lama.
Terlebih ketika harus merotasi sumber daya manusia dari satu studio atau pekerja kreatif ke pihak lainnya.
2. Timeline Pengerjaan yang Tidak Sinkron Antar Studio
Animasi secara produksi adalah produk dengan proses pembuatan linear. Sebuah aset animasi tentunya tidak dapat dilanjutkan hingga pemodelan dan rigging apabila belum dikatakan selesai maupun final pada kesepakatan pra produksi.
Dalam pengaturan ekosistem kolaboratif, jika satu studio mengerjakan aset dengan tertunda, maka dapat berakibat seluruh rantai ekosistem akan terganggu.
Adanya ketidakselarasan ini sering terjadi karena komunikasi yang buruk, budaya kerja yang berbeda, atau tidak adanya kalender produksi yang terpadu serta disepakati bersama baik oleh vendor pekerja maupun tim manajemen produksi.
3. Potensi Arahan Artistik yang Tidak Konsisten