
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kemendikdasmen segera merespons bahwa Deep Learning bukanlah kurikulum, tetapi pendekatan pembelajaran.
Sekalipun seperti ini, tetap saja istilah Deep Learning menjadi bahan perbincangan di antara guru, juga masyarakat awam yang acuh terhadap dunia pendidikan. Ujung perbincangan selalu mengarah ke pemikiran bahwa kurikulum yang sudah diberlakukan segera akan diganti.
Hingga kini, sekolah masih menerapkan Kurikulum Merdeka yang sudah ditetapkan menjadi Kurikulum Nasional. Deep Learning yang dimaksudkan oleh Kemendikdasmen belum terasa di sekolah.
Meskipun sejatinya, esensi Deep Learning sudah dilakukan oleh guru di dalam proses pembelajaran bersama siswa selama ini. Misalnya, guru telah membersamai siswa dalam memahami materi yang kontekstual, berpikir secara kritis, dan belajar secara menyenangkan.
Sehingga, ketika Deep Learning yang dimaksudkan oleh Kemendikdasmen diimplementasikan, tak memulainya dari nol. Modal yang sudah ada, kualitasnya tinggal ditingkatkan saja.
Dengan begitu, yang selama ini guru (telah) melakukan tetap ada manfaatnya. Sekaligus, ini sebagai bentuk menghargai keberadaannya.
Dilakukan dengan pengembangan, tak penghilangan, yang dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan siswa inilah yang disebut menghargai yang sudah ada. Yang sudah ada tak terkurangi, tetapi justru ditambah untuk melengkapinya.
Memang tak selalu mesti bisa seperti ini. Contohnya, rencana diadakan tes kompetensi akademik (TKA) yang sebelumnya tak ada. Sebab, beberapa tahun terakhir ini, tepatnya sejak 2021 ujian nasional (UN) dihapus.
UN mengarah ke menguji siswa terkait dengan mata pelajaran (mapel) yang diajarkan. Jadi, lebih mengukur perihal kognisi siswa.
Asesmen nasional (AN) yang meliputi asesmen kemampuan minimal (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar sebagai pengganti UN, tak melulu mengukur kognisi siswa. Tetapi, juga hendak melihat karakter siswa dan kondisi lingkungan belajar.
Sekalipun UN telah dihapus, siswa tetap menghadapi ujian, yaitu ujian sekolah (US). Hanya, US pada tahun 2025 sangat mungkin US yang terakhir.
Sebab, selanjutnya diberlakukan TKA, khususnya di jenjang sekolah menengah atas (SMA) berlaku sejak 2025. Sementara itu, untuk jenjang di bawahnya mulai diberlakukan pada tahun berikutnya.
Proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang selama ini berjalan, dengan memuat enam dimensi, kini diubah memuat tujuh dimensi. Adanya perubahan ini sempat terjadi perbincangan di masyarakat yaitu bahwa P5 diganti dengan P7.
Tetapi, Kemendikdasmen sudah memastikan bahwa tak ada upaya mengganti P5 menjadi P7. Yang diganti, tepatnya diubah, adalah profil lulusan yang semula berdimensi 6, ke depan profil lulusan berdimensi 8.
Profil lulusan berdimensi delapan, terdiri atas Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), Kewargaan, Kreativitas, Kemandirian, Komunikasi, Kesehatan, Kolaborasi, dan Penalaran Kritis