Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
"Jodoh sudah ada yang mengatur". Familiar dengan kalimat tersebut?
Kondisi seperti sekarang, yang mana banyak orang kesulitan menemukan jodohnya, kerap menggunakan kalimat tersebut untuk menghibur dan dilain waktu untuk membela diri.
Ya, biasanya sebagai penghiburan bagi orang yang ditinggal kekasih hati. Atau sebagai kalimat membela diri, bagi yang tak kunjung bersua tambatan hati.
Saya team keduanya, pernah merasakan sendiri saat bujangan. Mengalami dua keadaan, sekaligus memanfaatkan kalimat 'sakti' tersebut. Baik untuk menghibur diri, di kemudian hari sebagai kalimat pembela diri.
Saya masih ingat, suasana hati saat mengucapkan "jodoh ada yang mengatur". Seperti ada perasaan pasrah dan gamang, seolah tak ada pijakan yang pasti.
Menjawab pertanyaan orang, dengan kalimat dimaksud. Saya sangat berharap orang lekas mengerti, segera berhenti memojokkan dan tidak berlarut- larut. Pada saat bersamaan , memendam harapan besar tapi tidak bisa memutuskan.
Berada di posisi demikian, saya menyadari sedemikian kerdilnya kita manusia. Tak punya kuasa sedikitpun, bahkan terhadap nasibnya sendiri. Kita sama sekali tidak punya kesanggupan, menentukan kejadian sesuai keinginan sendiri.
Bahwa se-optimis apapun, bakal memiliki seseorang. Atau seyakin apapun, segera menemukan kekasih dinanti. Tetap saja kita tak punya kuasa, mengatur yang akan terjadi esok hari.
Tuhan sangat demokratis, memberi kesempatan manusia untuk berusaha. Meski hasilnya tetap rahasia, Tuhan Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya
Jodoh sudah diatur, tapi manusia musti turut campur.
***
Dulu sewaktu kuliah, saya pernah naksir adik kelas. Tidak butuh waktu lama, perempuan ditaksir menanggapi dengan baik.
Kost saya dekat kampus, kerap disamperin sebelum berangkat kuliah. Sampai dengan ibu kost kenal baik, pun dengan teman- teman kost yang lain.
Sebagai balasan, kalau libur saya ganti main ke rumahnya. Ketemu dan kenal dengan ibu, termasuk kakak laki-laki persis diatasnya. Penerimaan keluarga yang baik, membuat hati ini berbunga- bunga.
Saat itu umur saya diawal 20 tahun, memendam optimis yang besar. Bisa menikah selepas lulus, tak perlu menunggu umur duapuluh lima tahun. Saat itu sambil kuliah saya sudah bekerja, rasanya tak ada alasan mengulur waktu menikah.