
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
2. Perlambatan yang Menghadirkan Kesadaran
Karena menulis tangan lebih lambat, ia memaksa otak untuk berhenti, menyusun kalimat, dan memikirkan makna. Ini menciptakan momen refleksi yang tidak terjadi saat kita mengetik secara impulsif di layar.
3. Keunikan dan Jejak Personal
Tidak ada tulisan tangan yang sama persis. Dalam tiap goresan, tekanan tinta, atau bentuk huruf, tersimpan keunikan pribadi, bahkan emosi. Ini tidak bisa disalin oleh mesin. Tulisan tangan menyimpan "suara batin" yang tak terdengar oleh AI mana pun.
Menuju Generasi Tanpa Tulisan Tangan?
Gejalanya sudah jelas:
Menulis tangan bukan lagi keterampilan dasar. Ia menjadi kegiatan langka, lalu akan menjadi keterampilan eksklusif, dan pada akhirnya bisa berakhir sebagai warisan budaya---diajarkan di kelas seni, bukan di kelas bahasa.
Apa yang Sebenarnya Kita Kehilangan?
Ketika menulis tangan tak lagi dipraktikkan, kita kehilangan lebih dari sekadar gaya komunikasi. Kita kehilangan:
Lebih dari itu, kita kehilangan salah satu bentuk kehadiran penuh. Karena saat kita menulis dengan tangan, tidak ada notifikasi masuk, tidak ada auto-correct, tidak ada gangguan. Hanya kita dan pikiran kita.
Apakah Ini Tidak Terelakkan?
Mungkin. Tapi tidak semua hal yang praktis harus kita adopsi sepenuhnya, dan tidak semua yang lambat berarti tidak berguna.
Menulis tangan, meskipun dianggap tidak efisien, justru menawarkan nilai-nilai yang paling dibutuhkan dalam dunia modern: keheningan, koneksi, dan ketulusan.
Ini adalah hal-hal yang membuat kita tetap manusiawi dalam dunia yang makin terotomatisasi.
Akankah Kita Biarkan Ini Terjadi?