
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertanyaan kuncinya adalah apakah kita peduli jika generasi masa depan tidak bisa menulis tangan?
Jika kita tidak peduli, maka tak perlu waktu lama hingga menulis tangan hanya menjadi catatan sejarah.
Tapi jika kita sadar bahwa menulis tangan adalah bagian dari cara manusia berpikir, merasa, dan terhubung secara otentik, maka kita masih punya waktu untuk merawatnya.
Bukan dengan memaksakan kembali cara lama, tapi dengan memberi ruang bagi anak-anak untuk tetap menyentuh kertas, mencoret kata, dan menulis perasaannya dengan tangannya sendiri, meski hanya sesekali.
Karena Tidak Semua Harus Diketik
Teknologi memang membuat hidup lebih mudah. Tapi tidak semua hal bernilai bisa atau harus digantikan oleh teknologi.
Beberapa hal perlu dipertahankan bukan karena fungsinya, tapi karena maknanya. Menulis tangan adalah salah satunya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, saat semua orang bisa bicara pada layar dan berpikir lewat AI, akan ada satu anak yang dalam diam menulis surat dengan tangannya.
Mungkin surat itu tidak cepat, tidak rapi, bahkan ada salah ejaan. Tapi surat itu jujur. Penuh rasa. Manusiawi. Dan mungkin, dunia akan terasa lebih utuh kembali.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Di Masa Depan, Siapa yang Masih Bisa Menulis Tangan?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang