Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Terkait pilihan orang untuk child free, saya pribadi dulu pernah berpikir bahwa orang dewasa harus menikah untuk meneruskan keturunan, artinya tentu mereka mesti memiliki anak.
Namun, seiring berjalannya waktu saya juga jadi bertanya-tanya, bagaimana jika ada orang yang memutuskan tidak ingin memiliki anak walau sudah menikah?
Bagaimana dengan pasangan yang salah satu atau bahkan keduanya infertil sehingga tidak bisa punya anak? Bagaimana pula dengan mereka yang memutuskan untuk melajang hingga akhir hayat?
Lantas, apakah menikah dan memiliki anak wajib dimasukkan ke dalam bagian dari daftar tujuan hidup seseorang?
Sayangnya, kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki budaya kolektif.
Akibatnya, agak sulit bagi kita--terutama perempuan--untuk sekadar memmiliki apalagi sampai menyuarakan pilihan personalnya untuk tidak menikah hingga tidak ingin punya anak atau child free. Salah satu contohnya adalah Gita Savitri.
Di masyarakat yang menganut pandangan pro-life atau pro kehidupan, child free adalah hal yang asing. Akibatnya jika ada seseorang yang menginginkan child free maka akan dianggap “menyimpang” dari pandangan umum masyarakat mengenai keluarga ideal.
Keluarga ideal yang banyak diyakini oleh masyarakat kita harus terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Maka tanpa kehadiran salah satunya, sebuah keluarga belum bisa dikatakan sebagai keluarga ideal atau secara sederhana tidak utuh.
Oleh karenanya, kehadiran anak akan dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Bahkan saking inginnya memiliki anak, pasangan suami istri yang belum kunjung memiliki anak padahal tela menikah cukup lama melakukan berbagai cara agar mereka bisa memiliki anak.
Jadi, tak mengherankan bila ada pasangan yang memilih untuk child free akan dianggap tidak bersyukur dan tidak peka terhadap perjuangan para pasutri yang ingin memiliki anak.
Perlu diakui bahwa kita memang masih belum terbiasa dan cenderung enggan menghadapi pilihan perempuan atau siapa pun yang kadang berseberangan dengan pilihan mayoritas masyarakat. Child free adalah salah satunya.
Di sebuah lingkungan masyarakat, jika ada perempuan yang memiliki pandangan berseberangan maka akan dianggap sebagai pembangkang, bahkan hingga diberi cap sebagai “bukan perempuan baik-baik” atau “bukan perempuan salehah”.
Akibatnya seringkali perempuan hanya punya pilihan yang sangat terbatas, bahkan dalam beberapa kasus tertentu bisa jadi tidak punya pilihan sama sekali.
Sebagian perempuan tidak tahu apa yang mereka inginkan. Sebagian lainnya bahkan tidak tahu bahwa dirinya boleh punya dan menentukan pilihan.