Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Setiap tahun, atau tepatnya setiap kali masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), pasti ada saja permasalahan yang terjadi. Banyak kisruh yang terjadi saat PPDB dimulai, baik dari tingkat SD, SMP, maupun SMA. Bahkan, setelah masa PPDB usai pun, masih banyak menyisakan teka-teki terkait proses PPDB dan ironisnya hal ini selalu terulang setiap tahunnya.
Permasalahan yang terjadi pada proses PPDB tidak melulu soal kecurangan yang dilakukan oleh beberapa oknum, melainkan juga soal regulasi yang mengatur tentang PPBD itu sendiri, yakni Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang masih memiliki banyak celah dan sayangnya bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memuluskan niatnya.
Celah yang ada ini dimanfaatkan oleh beberapa masyarakat untuk melakukan tindak kecurangan dalam proses PPDB. Hal yang perlu disayangkan, hal ini malah terkesan legal di mata masyarakat sebab Permendikbud itu sendiri tidak secara rinci mengatur ketetapan pada jalur yang dibuka. Akibatnya tentu membuat tujuan dari Permendikbud terkait PPDB ini tidak tepat sasaran.
Lantas, apa saja celah-celah dari regulasi yang termuat di Permendikbud No.1 Tahun 2021 yang dimanfaatkan masyarakat untuk berbuat curang dalam proses PPDB?
Tanpa bermaksud mengajarkan cara untuk berbuat curang, berikut beberapa celah yang dimanfaatkan banyak orangtua untuk mendapatkan persyaratan sesuai dengan jalur yang dipilih agar anaknya bisa mendaftar dan diterima pada sekolah yang diinginkannya.
Pasal 17 (1) PPDB melalui jalur zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah (Pasal 17 Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021)
Celah pertama yang dimanfaatkan oleh banyak orangtua dalam proses PPDB adalah aturan yang terdapat dalam pasal ini. Aturan dalam pasal ini sering dimanfaatkan oleh orangtua peserta didik calon pendaftar PPDB untuk mengakali agar anaknya bisa masuk melalui jalur zonasi.
Aturan dalam pasal tersebut yang menerangkan soal zonasi sayangnya tidak menjelaskan secara spesifik mengenai status hubungan dalam keluarga peserta didik pada domisilinya tersebut.
Akibatnya, banyak orangtua peserta didik yang mengakalinya dengan cara menitipkan lalu memasukkan nama anaknya ke dalam Kartu Keluarga (KK) orang lain yang jarak rumahnya dekat dan berada pada zonasi sekolah yang diincar.
Dengan cara ini, mereka berharap anaknya bisa memenuhi syarat aturan zonasi dan mendapatkan akses prioritas dalam PPDB tersebut. Tentu praktik curang ini akan merugikan calon peserta didik lain yang juga berdomisili di wilayah zonasi tersebut.
Padahal tujuan dari penerapan jalur zonasi dalam PPDB adalah untuk memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang berdomisili di wilayah sekitar sekolah untuk mendapatkan akses pendidikan berkualitas.
Jika sudah begini, siapa yang bisa disalahkan?
Para orangtua yang melakukan praktik titip anak juga tidak bisa sepenuhnya dianggap salah. Sebab, ketentuan yang terdapat dalam pasal 17 ayat 1 tadi tidak secara rinci menyebutkan status hubungan dalam keluarga peserta didik di suatu domisili zonasi. Sehingga, mereka akan menganggap cara ini adalah cara wajar dan tidak melanggar aturan apapun demi bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan.
Di pasal yang sama, pada ayat kedua juga diterangkan mengenai *domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB*.
Ayat ini juga semakin memperlebar celah untuk menyiasati aturan tentang zonasi. Durasi yang hanya ditetapkan satu tahun, membuat orangtua bisa menitipkan anak pada KK kerabat atau kawan dekat satu tahun sebelum PPDB dimulai. Dengan begitu, ketika pada masanya PPBD digelar, anaknya dapat mendaftar ke sekolah yang diinginkan.
Oleh karena itu tak mengherankan bila tingkat kepadatan jumlah pendaftar menjadi tinggi di radius yang sangat dekat dengan sekolah. Hal ini bukan disebabkan oleh jumlah kelahiran di daerah tersebut yang tinggi, melainkan banyaknya praktik titip anak yang dilakukan demi lolos PPDB jalur zonasi.
Celah berikutnya yang kerap dimanfaatkan orangtua peserta didik adalah tidak mengganti alamat domisili yang tertera pada KK. Tak jarang orangtua menginginkan anaknya masuk di sekolah yang terdapat pada zonasi tertentu. Namun, ketika tiba masa pendaftaran PPDB, mereka sudah tak lagi tinggal di wilayah tersebut karena hanya rumah kontrak atau menumpang tinggal.
Meski begitu, mereka tetap mendaftarkan anaknya dengan menggunakan alamat domisili lama yang belum diganti, meski sudah tak lagi tinggal di alamat tersebut demi memasukkan anaknya di sekolah yang diinginkan.