Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tak jarang saya mendengar keluhan seperti kenapa ya sudah minum obat teratur selama dua minggu tapi tak kunjung sembuh juga batuk ini?
Mendengar itu, saya curiga jika obat yang diminum jangan-jangan adalah obat palsu. Dari kejadian itu, apakah banyak dari Anda yang mengalami hal serupa dan mencurigai jika obat yang diminum selama ini adalah obat palsu?
Sampai saat ini, fenomena produksi dan peredaran obat palsu memang bukanlah hal baru. Berdasarkan rilis dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) & European Union Intellectual Property Office (EUIPO), nilai perdagangan obat palsu di skala international mencapai 4.4 juta dollar AS pada tahun 2016.
Sementara itu menurut data dari Pharmaceutical Security Institue (PSI) terdapat peningkatan sebesar 38% dari tahun 2016 ke tahun 2020 terkait perdagangan obat ilegal/palsu secara global.
Salah satu faktor yang paling berkontribusi adalah ekonomi. Masyarakat banyak yang tergoda dengan produk obat yang berharga lebih murah.
Ditambah lagi dari sisi produksi, modal yang diperlukan untuk memproduksi obat palsu boleh dikatakan tidak begitu besar. Sebab, selain bahan baku obat palsu mudah didapat dan harganya murah, mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi juga tak begitu sulit diperoleh.
Selain itu untuk membuat kemasan yang menyerupai kemasan asli obat juga tak sulit dilakukan dengan dukungan teknologi saat ini yang semakin berkembang.
Kebanyakan obat-obat yang dipalsukan adalah obat yang harganya mahal, obat bermerek, dan obat paten yang biasanya paling sering dicari masyarakat.
Faktor lain yang membuat peredaran obat palsu marak adalah para produsen obat palsu itu tidak perlu melakukan proses penelitian dan pengujian (quality control) yang ketat agar kemanan, mutu, dan efikasinya terjamin.
Mereka tidak perlu melakukan itu semua, sebab itu semua memerlukan biaya yang cukup besar. Maka dari itu, tak akan heran bila obat-obat palsu ini bisa dijual dengan harga yang jauh lebih murah daripada obat asli.
Apalagi, di era teknologi yang semakin maraknya ecommerce dan metode belanja online lain, membuat peredaran obat palsu menjadi semakin besar.
Salah satu contoh kasus temuan obat palsu pernah terjadi di Semarang. Modus pelaku adalah mengumpulkan obat-obat yang telah kedaluwarsa dari apotek-apotek, kemudian dikemas ulang (repacking) menjadi obat bermerek (branded) dan dijual kembali dengan harga tinggi.
Lantas bagaimana kita bisa tahu obat yang kita beli obat palsu atau asli?
Untuk bisa mengetahui apakah obat yang kita beli palsu atau tidak, kita terlebih dahulu perlu memahami apa itu obat palsu atau obat ilegal.
Menurut BPOM, obat ilegal adalah obat tanpa nomor izin edar (NIE) termasuk obat palsu.
Sementara itu, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki NIE.
Biasanya modus pemalsuan obat dilakukan dengan cara-cara berikut.
Untuk bisa memastikan apakah suatu produk obat yang akan kita beli asli atau palsu, mungkin agak rumit karena harus melalui pengujian atau analisis kimia di laboratorium. Bahkan, saya yang berprofresi sebagai farmasis pun belum tentu bisa langsung mengetahui apakah suatu produk obat asli atau palsu.