Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menurutnya pendampingan itu akhirnya membuahkan hasil terlihat dari adanya tren warga yang datang melapor kepada mereka untuk minta didampingi ke kantor pemerintah atau polisi.
Tren itu juga termasuk jika ada kasus yang sudah dilaporkan namun belum ada tindak lanjut.
Tantangan memutus rantai kekerasan anak di Sumba Timur adalah pandangan warga yang masih menganggap bahwa kekerasan terhadap anak adalah urusan rumah tangga. Tantangan berikutnya adalah faktor budaya.
"Kalau ada masalah kekerasan seksual terhadap anak, terkadang proses budaya ditempuh, yakni membayar denda berupa hewan 'tutup malu'. Persoalan dianggap selesai. Mereka tidak melihat dari sisi anak yang menjadi korban kekerasan. Ada trauma yang mendalam pada anak. Padahal ini sudah menjadi persoalan kriminal yang wajib dilaporkan dan mendapat penanganan aparat," ungkap Sry.
Persoalan kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan sendiri. Maka dari itu perlu dibangun kemitraan dengan berbagai tokoh masyarakat, gereja, dan pemerintah untuk bersama-sama melakukan sosialisasi demi menekan dan menghapus kekerasan tersebut.
Tantangan lain yang mesti dihadapi juga adalah bagaimana menyediakan layanan untuk membantu anak korban kekerasan berupa perawatan kesehatan, dukungan psikososial, keamanan, dan perlindungan hukum.
"Atas bantuan banyak pihak, sekarang sudah ada sebuah Rumah Aman untuk pemulihan korban kekerasan di dekat Kantor Dinas Sosial," jelas Sry.
Rumah Perlindungan Anak dan Perempuan Kabupaten Sumba Timur ini diresmikan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA RI) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pada Kamis (4/8/2022) lalu.
Pada kesempatan itu Bupati Sumba Timur, Khristofel Praing mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir pada 2021 tercatat sejumlah kasus kekerasan seperti, kekerasan rumah tangga sebanyak 19 kasus, pencabulan 39 kasus, bayi yang dibuang 2 kasus, penelantaran anak 2 kasus, dan kekerasan fisik 2 kasus.
"Sedangkan pada tahun 2022 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli tercatat 35 kasus yang terdiri dari, KDRT 13 kasus, persetubuhan 16 kasus, kekerasan fisik 3 kasus, dan penelantaran 3 kasus," jelasnya.
Pada saat yang sama, kata Sry, pemerintah harus terus melakukan sosialisasi untuk mengenali faktor penyebab terjadinya kekerasan.
Hal ini sangat penting agar lembaga yang menangani kasus kekerasan bisa menyediakan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan luas, terampil dan bersungguh-sungguh menolong korban dengan mengambil tindakan pencegahan yang efektif.
Menurut Sry, pemerintah juga harus mendukung dengan terjun langsung mengambil alih apa yang sudah dilakukannya dan kawan-kawannya.
Ia menambahkan ketika masyarakat sudah antusias, maka tentunya penyedia layanan juga harus lebih siap. Bagaimana caranya, tentunya dengan sumber daya manusianya diperkuat.
“Beberapa hari yang lalu ketika masyarakat datang bikin pengaduan di salah satu Polsek, aparatnya justru tidak siap. Mereka bilang bahwa kasus kekerasan ini delik aduan. Harus orang tua atau kerabat anak itu yang datang melaporkan. Padahal siapa saja yang menyaksikan kekerasan itu wajib melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai saksi pelapor," kata Sry pada awal April 2022 lalu.
Ketika berjumpa di awal April 2022 lalu, Anto Kila, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumba Timur mengatakan bahwa produk hukum yang menjadi landasan kerja perlindungan anak di Sumba Timur sudah memadai.
Menurutnya, sudah terdapat Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak sejak tahun 2014 yang kemudian dari Perda ini lahirlah Peraturan Desa (Perdes).
Pada tingkat yang lebih tinggi, ada produk hukum dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).