Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
LPAI sendiri merupakan lembaga yang aktif memperjuangkan dan memajukan hak-hak anak di seluruh Indonesia melalui pendampingan dan penanganan kasus, advokasi, publikasi, serta monitoring.
LPAI juga memiliki mitra LPA di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia.
Ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) NTT tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Pergub revitalisasi Kesehatan Ibu dan Anak dan beberapa regulasi terkait dengan advokasi kerja hukum.
Masih menurut Anto, kalau soal alat hukum mereka sudah punya. Kesadaran hukum pun juga sudah lama dibangun. WVI pun setidaknya sudah 14 tahun terakhir mendampingi warga.
Dampaknya jelas, masyarakat jadi paham harus melapor ke mana dan bagaimana alurnya jika ada mendapati kasus kekerasan.
"Semua ini sudah terbangun di Sumba Timur. Kesenjangan kita adalah pada infrastruktur pendukungnya," ungkap Anto.
Dia menambahkan bahwa diperlukan sarana dan prasarana pendukung serta kemampuan sumber daya manusia dan dana yang memadai dari Pemerintah Daerah.
Menurut catatan LPA, dalam lima tahun terakhir ini terdapat 180 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sumba Timur. Kalau dibagi rata, kata Anto, setiap bulan terjadi tiga kasus kekerasan seksual.
"Melebihi semua jenis kejahatan. Kasus kriminal pencurian dan pembunuhan yang ditangani polisi tidak setinggi itu. Bulan Maret 2022 lalu dari satu desa di bagian timur ada sembilan kasus kekerasan seksual. Sangat tinggi," ungkapnya.
Angka yang tinggi ini mesti dibarengi dengan tersedianya infrastruktur yang memadai untuk bisa menampung dan menindaklanjuti laporan warga. Kapasitas aparat penegak hukum yang menerima laporan warga juga harus terus ditingkatkan.
"Kita belum bicara soal pemulihan korban. Sebab itu kita butuh shelter untuk pemulihan trauma. Harus ada psikolognya. Belum soal menjangkau mereka sebab korban biasanya berasal dari pedalaman, puluhan kilometer dari Waingapu. Sementara layanan psikologi ada di kota. Menjangkau mereka ini saja sudah satu masalah tersendiri. Beruntung sekarang sudah ada Rumah Pemulihan," kata Anto.
Menurut Anto, regulasi tidak akan bermanfaat selama belum dikampanyekan secara massif yang diharapkan menjadi budaya dalam masyarakat. Dengan demikian, warga bisa membangun sendiri sistem perlindungan anak berbasis diri mereka.
Tugas pemerintah dan jejaring adalah menyediakan infrastruktur yang cukup untuk mendukung apa yang sementara ini sudah dicapai masyarakat. Kepolisian, misalnya, kata dia, harus menanggapi isu-isu perlindungan anak secara profesional dan cepat.
"Jadi tidak percuma kita lapor kalau lama baru ambil tindakan atau tidak ditanggapi sama sekali. Kita dorong proses hukumnya supaya jalan. Kita juga dorong proses pemulihan agar hak anak terpenuhi. Dia mendapatkan kepastian hukum, di sisi lain dia dapat dipulihkan," kata dia.
LPA dan semua jejaring LSM di Sumba Timur, kata Anto, akan terus memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum bahwa kasus-kasus kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan dengan norma-norma sosial dan agama.
"Kekerasan seksual tidak bisa dimediasi untuk diselesaikan secara budaya dan agama. Kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa. Pelakunya harus dihukum berat, atau direhabilitasi jika masih anak-anak," tegasnya.