Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Aktor muda Kevin Ardilova yang memerankan sosok Rakib pun tak disangka mampu mengimbangi permainan Arswendy Bening Swara Nasution.
Karakter yang diperankannya berubah secara dinamis dari awal hingga akhir film. Ia bisa tampil sebagai pemuda lugu penurut hingga sosok yang manipulatif.
Sebagai aktor muda, Kevin termasuk aktor yang cukup eksploratif, berani mencoba berbagai peran dan tak takut untuk berpenampilan buruk rupa.
Ia menjadi remaja pemalu di film Yuni, pemuda ompong di film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan sosok lugu di film Autobiography ini.
Berkat perannya sebagai Rakib, ia berhasil meraih penghargaan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di FFI dan juga Aktor Utama Pilihan di Festival Film Tempo.
Selain dua nama tadi, aktor hebat lain yang juga ikut berperan di film ini adalah Lukman Sardi, Rukman Rosadi, Yusuf Mahardika, dan Siti Fauziah.
Listrik di tempat hiburan malam itu padam. Andri (Haru Sandra) meminta Rakib menemaninya menyalakan generator yang agak jauh dari bangunan tersebut.
Di luar langit tidak begitu gelap, panorama alam dengan latar pegunungan itu membuat suasana terasa syahdu sekaligus misterius. Itulah salah satu visual dalam Autobiography yang membuat saya takjub.
Wojciech Staro, sinematografer film ini di bawah komando sang sutradara, Makbul Mubarak, berhasil memberikan visual-visual outdoor yang menawan pada malam hari. Panorama di sawah, jembatan, dan kebun jagung terlihat puitis dan romantis.
Sementara pencahayaan di rumah sang Purnawirawan Jenderal TNI, Purnawinata yang temaram baik siang maupun malam, semakin membuat rumah sang mantan jenderal itu tampak suram.
Unsur suram dan misterius ini begitu kental dalam film Autobiography. Sementara musik latar dan sound-nya yang apik semakin menambah unsur ketegangan dalam film.
Film Autobiography yang diproduksi KawanKawan Media dan Kaninga Pictures ini pada akhirnya berhasil mendapat pendanaan dari Locarno Film Festival karena dinilai kental dengan kritik sosial dan isu lingkungan.
Dalam film ditampilkan kampanye Purnawinata yang ingin desa mendapatkan fasilitas listrik secara merata. Namun kemudian juga ditampilkan tempat-tempat yang berubah fisik menjadi tandus akibat penambangan yang juga mengancam lahan pertanian warga setempat.
Penambangan legal dan ilegal yang merusak alam ini rupanya terjadi secara nyata di Bojonegoro, yang juga menjadi lokasi syuting dan latar film.
Boleh jadi hal ini adalah sebuah upaya pembuat film agar pemerintah daerah setempat lebih peduli akan kondisi lingkungan daerah yang dipimpinnya.