Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kesuksesan penegakan hukum kerap diukur dari banyaknya orang yang dipenjara. Padahal anggapan seperti itu keliru.
Esensi dari penegakan hukum tidak diukur dari seberapa banyaknya orang yang masuk penjara, akan tetapi dengan mencegahnya. Begitu pula dengan anak.
Jika anak sudah terlanjut berbuat tindak pidana, maka kewajiban kita sebagai orang dewasa adalah memberikan pembinaan. Membina mereka sangat penting agar di kemudian hari anak tidak melakukan hal serupa.
Penjara tanpa adanya pembinaan tidak akan menjamin jika seseorang tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Esensi dari pemidanaan adalah upaya agar pelaku tindak pidana tidak mengulanginya tindak pidananya lagi.
Jadi memenjarakan anak bukanlah keputusan tepat, apalagi mengingat alasan serta risiko yang dapat mengganggu psikologis dan mental anak.
Maka dari itu, pembinaan di lembaga yang tepat adalah hukuman yang paling tepat bagi anak.
Apabila memang anak tersebut harus dipenjara, maka ketentuannya tidak akan sama dengan orang dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU SPPA. Hukuman penjara ini hanya berlaku jika perbuatan anak dinilai bisa membahayakan masyarakat.
Hukuman penjara yang dijatuhkan pada anak juga memiliki ketentuan setengah dari ancaman penjara maksimal bagi orang dewasa. Jad jika perbuatan yang dilanggar diancam dengan hukuman mamti atau penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan pada anak paling lama adalah 10 tahun.
Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan anak bisa melakukan tindak pidana? Apakah ketidaktahuan mereka? Jawabannya, jelas mereka tidak tahu.
Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting sebagai benteng pertama bagi anak untuk menginformasikan anak mana hal yang dilarang mana yang boleh dilakukan.
Di kasus Dul misalnya, ia yang masih berada di bawah umur mengendarai mobil dan mengalami kecelakaan hingga menyebabkan orang lain meninggal karena kelalaiannya dalam berkendara.
Dalam praktiknya, Dul hanya dikenakan tindakan dikembalikan pada orangtuanya. Dul di sini tidak salah, yang salah justru adalah orangtuanya yang malah memberi akses kepada Dul untuk bisa mengendarai kendaraan padahal usia Dul saat itu belum memenuhi syarat untuk mengendari kendaraan.
Jadi, terlalu sempit jika SPPA hanya dilihat dari diversi atau restorative justice saja. Bagi saya, tidak ada yang perlu direvisi dari UU SPPA karena tahapannya sudah benar dengan memerhatikan hak anak.
Justru yang perlu diperbaiki adalah pembinaan kita kepada anak. Peran itu ada pada keluarga dan lingkungan pendidikan. Memenjarakan anak tidak menyelesaikan akar masalah. Akar masalahnya justru terdapat pada pembinaan di lingkungan keluarga dan sekolah.
Anak yang menjadi pelaku tindak pidana bisa jadi karena minimnya pengawasan dari orangtua. Sekali lagi, jangan samakan anak dengan orang dewasa. Meski orang adalah subjek hukum, tetapi tetap untuk menjadi subjek hukum adalah mereka yang sudah cakap hukum.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pentingnya Asas Ultimum Remedium dalam Sistem Peradilan Pidana Anak"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.