Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Asas ultimatum remedium juga disinggung dalam Pasal 2 UU SPPA. Ada alasan tersendiri mengapa penjara menjadi upaya terakhir, yakni karena penjara jelas tidak ramah untuk anak.
Saya jadi teringat ketika mengunjungi Lapas Nusakambangan tahun 2020 lalu. Saat masuk ke dalam lapas, seketika saya merasa sumpek. Para tahanan di sana juga terlihat stres karena dikurung di penjaran.
Para tahanan yang terdapat di sana adalah orang dewasa yang sudah matang secara pikiran dan mental. Jadi, bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya bisa anak-anak yang ditempatkan di dalam penjara?
Karena alasan psikologis dan mental inilah yang membuat penjara ditempatkan sebagai opsi terakhir untuk hukuman anak.
Maka dari itu, pidana pokok pada anak tidak sama dengan pidana pokok orang dewasa. Jadi, jika ada anak yang berkonflik dengan hukum, ia perlu dibina.
Hal inilah esensi hukuman yang tepat bagi anak, bukan dengan cara memenjarakan dan menyamakan hukumannya seperti orang dewasa.
Kesuksesan penegakan hukum kerap diukur dari banyaknya orang yang dipenjara. Padahal anggapan seperti itu keliru.
Esensi dari penegakan hukum tidak diukur dari seberapa banyaknya orang yang masuk penjara, akan tetapi dengan mencegahnya. Begitu pula dengan anak.
Jika anak sudah terlanjut berbuat tindak pidana, maka kewajiban kita sebagai orang dewasa adalah memberikan pembinaan. Membina mereka sangat penting agar di kemudian hari anak tidak melakukan hal serupa.
Penjara tanpa adanya pembinaan tidak akan menjamin jika seseorang tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Esensi dari pemidanaan adalah upaya agar pelaku tindak pidana tidak mengulanginya tindak pidananya lagi.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.