Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Suatu hari saya menerima curhatan seorang pejabat menengah di sebuah instansi pemerintah. Ia mengungkapkan kegalauannya ketika diminta menandatangani surat persetujuan pengajuan kredit di bank oleh anak buahnya.
Sebenarnya, sebagai seorang atasan ia tidak ingin selalu menyetujui jika ada bawahannya yang mengajukan surat persetujuan semacam itu. Akan tetapi, di sisi lain juga ia merasa serba salah, pasalnya ia juga merasa kasihan apabila ia tidak menyetujuinya karena anak buahnya berasalan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada kenyataannya kehidupan sebagai seorang ASN/PNS sejak dulu memang identik dengan “menyekolahkan” Surat Keputusan (SK) sebagai jaminan pengajuan kredit di bank.
Salah satu pengalaman terkait “menyekolahkan” SK ini dialami oleh seorang kerabat. Ia mengungkapkan jika SK PNS miliknya tidak “disekolahkan” di bank, ia tidak akan bisa membeli rumah. Tak tanggung-tanggung, diperkirakan bahwa SK miliknya baru bisa ditebus menjelang masa pensiunnya nanti.
Atas nama kebutuhan hidup yang beragam dan semakin mencekik, mengambil kredit atau pinjaman, atau bahasa lugunya "utang", menjadi solusi yang tak jarang diambil oleh banyak orang, termasuk juga mereka yang berprofresi sebagai ASN/PNS.
Mereka yang berprofesi sebagai ASN/PNS bisa dibilang cukup beruntung, karena memiliki SK dan penghasilan tetap setiap bulannya yang bisa meyakinkan pihak bank ketika secara terpaksa mengajukan pinjaman.
Terkait hal ini, beberapa waktu lalu terdengar wacana dari pemerintah yang ingin menerapkan aturan single salary bagi para ASN/PNS. Jika kebijakan ini nantinya akan benar-benar diterapkan, apakah akan berpengaruh terhadap pola ASN/PNS dalam “menyekolahkan” SK mereka?
Pemerintah berencana mengubah sistem penggajian ASN/PNS dengan single salary. Artinya, semua ASN/PNS ini hanya akan menerima satu jenis penghasilan atau gaji saja.
Dengan sistem single salary ini, gaji dan tunjangan kinerja serta komponen penghasilan lain yang sebelumnya diberikan terpisah, kini digabung menjadi satu.
Melihat dari berbagai berita yang beredar mengenai sistem single salary ini, nantinya dalam sekali penghasilan, seorang ASN/PNS bisa jadi menerima gaji dengan nominal yang cukup besar.
Hal ini berbeda dengan sistem saat ini, penghasilan yang diterima masih terpisah-pisah dan bisa diberikan di waktu yang berbeda pula. Sebagai gambaran, gaji akan diberikan pada awal bulan, sementara tunjangan kinerja serta komponen penghasilan lain akan dibayar di tengah bulan.
Tentu, ketika aturan single salary mulai diberlakukan nanti dan para ASN/PNS menerima penghasilan setiap bulannya dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelumnya, akan terlihat lebih “menggiurkan”, baik bagi para ASN/PNS itu sendiri maupun bagi pihak bank.
Mengapa juga pihak bank? Sebab, pihak bank bisa lebih mudah untuk berlomba-lomba menarik nasabah kredit dari kalangan ASN/PNS ini.
Sebagai contoh, nantinya seorang ASN menerima single salary sebesar Rp10 juta per bulan. Padahal sebelumnya, di sistem yang berlaku sekarang ia menerima gaji pokok bulanan sebesar Rp4 juta ditambah tunjangan kinerja Rp4 juta serta tunjangan lain sebesar Rp1,5 juta.
Jika melihat rinciannya sebenarnya tidak berbeda jauh antara single salary dan sistem penggajian saat ini, meski memang mungkin akan ada kenaikan jumlah gaji sedikit.