Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Perkara parkir liar memang begitu meresahkan banyak orang, termasuk saya. Masalahnya bukan terletak pada seberapa uang yang mesti dikeluarkan sebagai biaya parkir, tetapi lebih kepada tanggung jawab terhadap keamanan kendaraan yang dititipkan.
Biasanya para tukang parkir dadakan ini kerap muncul di area keramaian. Terutama di kawasan seperti pantai dan tempat wisata lain dengan banyak pengunjung namun belum memiliki area parkir resmi. Tukang parkir di area-area tadi bisa muncul kapan saja tanpa ada yang tahu sebelumnya di mana ia berada, layaknya seorang ninja.
Dari pengalaman pribadi, saya sering menemukan banyak tukang parkir ini yang hanya bermodal peluit baru datang menghampiri ketika posisi kendaraan saya sudah hendak keluar.
Cara yang seperti itu akhirnya memberi saya asumsi bahwa mereka hanya ingin uang dari orang yang berkunjung, akan tetapi tidak ingin bertanggung jawab jika ada kendaraan yang hilang.
Hal semacam ini sebenarnya bisa tidak terjadi jika dilakukan penertiban melalui mekanisme parkir terintegrasi. Salah satu caranya adalah para tukang parkir sudah semestinya diberikan sertifikasi melalui pelatihan khusus layaknya satpam.
Sebelum membahas legalisasi parkir liar lebih jauh, sebenarnya ada baiknya pemerintah setiap daerah terlebih dahulu mendesain lokasi parkir yang strategis serta ramah budaya.
Masyarakat kita seringkali memaknai perluasan jalan sebagai perluasan area parkir, sehingga selebar apapun jalan akan tetap dijadikan lokasi parkir liar. Lantas, apa guna sebenarnya jalan yang dilebarkan, untuk mengurangi kemacetan atau memudahkan lahan parkir?
Area parkir yang tak teratur dan tersebar di mana saja ini adalah akibat dari tak adanya bangunan parkir yang ideal. Di banyak wilayah di Indonesia, setiap ada lahan kosong tak terpakai di sekitar area yang banyak dikunjungi orang, biasanya akan langsung digunakan sebagai area parkir sementara. Tentu diikuti dengan kemunculan para tukang parkir liar yang memanfaatkan kesempatan ini.
Konsep bangunan parkir hendaknya didesain ramah budaya. Maknanya, area parkir disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat. Tujuannya agar pemanfaatan area parkir lebih efektif dan tepat guna.
Sebagai contoh, pembangunan tempat parkir dengan konsep bertingkat adalah ide bagus untuk menghemat tempat, akan tetapi apakah masyarakat mau menggunakannya setelah dibangun?
Hal itu perlu dipikirkan dan didiskusikan lebih lanjut mengingat kebiasaan mayoritas penduduk Indonesia tidak terbiasa berjalan jauh. Jangan sampai sudah membangun tempat parkir dengan anggaran ratusan juta malah berakhir sepi pengguna.
Bangunan parkir di bawah tanah (basement parkir) terlihat keren dan hemat lahan, tapi secara pengelolaannya juga perlu dipikirkan dengan matang. Bagaimana drainase air jika hujan deras dan desain pintu masuk dan keluar harus benar-benar ramah budaya lokal.
Kadangkala, masyarakat enggan memarkir ke area bawah bangunan dan lebih suka mencari alternatif lain yang terdekat dari tujuan. Walhasil, parkir liar tetap menjadi pilihan walau harus membayar lebih.
Ketika masih kuliah di Amerika, saya kerap melihat banyak tiang pendek di samping jalan yang berfungsi sebagai parking meter untuk membayar biaya parkir.
Dengan begitu, otomatis tak akan ada suara peluit dari tukag parkir dan kendaraan seperti mobil terparkir dengan tertib dan rapi meski tidak ada yang mengatur. Aturan yang jelas dan kesadaran akan lalu lintas adalah kunci utama.